HIDUPKATOLIK.com – BILA ada anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, tak perlu mencari kesalahan orang lain. Ada banyak faktor yang membuat seseorang menderita gangguan jiwa, mulai dari faktor genetis, perkembangan janin, peristiwa kehidupan, hingga tekanan sosial (baik masyarakat maupun keluarga).
Hal terpenting yang perlu dicari adalah bersikap benar terhadap orang dengan gangguan jiwa, ketimbang menyalahi. Demikian kata Suryo Dharmono, dokter spesialisasi kejiwaan, ketika menjadi pembicara dalam seminar kesehatan jiwa di Paroki St Bonaventura Pulo Mas, Jakarta Timur, Minggu, 22/7.
Memberikan stigma negatif kepada ODGJ bakal menghambat perkembangan pribadi yang bersangkutan. Sama seperti manusia lain, ODGJ perlu dihormati dan diperhatikan secara baik, selain memberikan obat untuk mereka.
Karena itu, menurut Suryo, dukungan keluarga dan masyarakat terhadap ODGJ amat penting. Bentuk dukungan dan perhatian kepada ODGJ, beber Suryo mencontohkan, terdapat di Bali. Di sana ada tempat cuci mobil dan usaha telor asin yang dikelola ODGJ skizofrenia. Ada juga bengkel yang dikhususkan untuk praktik atau latihan kerja bagi ODGJ.
Pembicara lain, mantan ODGJ yang kini menjadi aktivis kesehatan jiwa, Osse Kiki berharap kepada keluarga atau pemerhati ODGJ mengenali gejala gangguan jiwa. Bila ada indikasi ke arah tersebut, perlu bergegas membawa orang tersebut kepada psikiater. “Penanganan dini sangat menghemat biaya, waktu, dan tenaga,” ujar aktivis Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia ini.
Kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Rahmat Pemulihan juga menghadirkan pembicara lain yakni konselor dan pendamping keluarga yang memiliki masalah gangguan jiwa, Hildegardis Tjitra Ratna.
Antonius Bilandoro
Terima kasih kepada Hidup yang telah meliput kegiatan Komunitas Rahmat Pemulihan. Sedikit masukan terhadap keterangan dalam peliputan ini:
Orang Dengan Gangguan Jiwa itu tidak ada mantannya, yang ada adalah ODGJ yang sedang stabil dan ODGJ yang sedang relapse. Gangguan jiwa terjadi karena kimia otak tidak stabil sehingga menghasilkan sinyal-sinyal yang salah. Misalnya, penderita mendengar suara padahal tidak ada orang lain di dekatnya, atau merasa curiga dan terancam akan hal-hal yang orang normal tidak rasakan (halusinasi dan delusi). Ada kalanya gangguan tersebut menurun hingga keadaan stabil, yakni bila minum obat teratur dan pemicu ketidak-seimbangan tersebut hilang. Namun bila pemicu itu ada lagi dan terutama bila obat untuk membuat kimia otaknya stabil tidak diasup, maka bukan tidak mungkin ODGJ tersebut akan relapse. Maka keadaan stabil tersebut hendaknya dikelola yang bisa dilakukan melalui kasih oleh orang-orang di sekitarnya (yang untuk itu hendaknya dia mengasihi orang-orang di sekitarnya saat dia sedang stabil), selain obat dan vitamin.
Relapse, tentu kita tau itu artinya kambuh. Di komunitas ODGJ memang biasanya menggunakan istilah relapse, bukan kambuh, untuk eufemisme karena di masyarakat yang penuh stigma sering kali bercanda secara kejam menyebutkan kambuh untuk ‘menghina’ temannya, padahal bagi ODGJ istilah itu sungguh menghujam. Jadi, pada tulisan ini pun saya menggunakan istilah relapse, bukan untuk gaya-gayaan pribadi, melainkan karena memang demikianlah istilah yang biasa digunakan.
Demikian masukan dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Salam,
Komunitas Rahmat Pemulihan
Ytk.Ibu Rini, terimakasih untuk tambahan info yang diberikan. Semoga Komunitas Rahmat Pemulihan dapat menginspirasi sesama dalam memberikan perhatian khususnya kepada saudara kita, ODGJ. Salam Hidup