web page hit counter
Minggu, 24 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Gereja tentang Paranormal

4.5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Salah satu fenomena yang dapat dijumpai dalam masyarakat Indonesia adalah kepercayaan orang pada paranormal. Namun, sebagai seorang Katolik hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya. Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan Gereja mengenai paranormal? Apakah pastor boleh menjadi paranormal?

Cornelius Sutimin, Semarang

Ada orang-orang tertentu yang memiliki daya kemampuan yang dipandang di luar kemampuan kodrati, sehingga disebut sebagai paranormal. Mereka itu adalah orang yang bisa menyembuhkan, melihat sesuatu yang tidak kasat mata, mencari sumber air atau mampu melepaskan sesama dari ketergantungan atau keterikatan akan sesuatu. Ketergantungan ini misalnya jimat atau pegangan tertentu, yang dipandang bisa menumbuhkan suatu daya tertentu, sehingga dia bisa mengatasi persoalannya atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan serta diharapkan.

Kisah Musa dan Harun saat berhadapan dengan para dukun atau ahli-ahli sihir dari Mesir bisa kita pakai sebagai contoh (lih Kel 7-11). Yesus pun beberapa kali dipertanyakan kuasanya untuk menyembuhkan dan mengusir setan-setan, bahkan sempat dituduh melakukannya dengan kuasa Beelzebul (lih Luk 11:14-23). Para Rasul pun melakukan sesuatu yang di luar kemampuan kodrati, dan melakukannya atas nama dan kuasa Yesus Kristus (misal Kis 5:12-16; 9:32-42; ). Maka daya kemampuan untuk melakukan sesuatu yang di luar kemampuan kodrati adalah sesuatu yang biasa dalam tradisi Kitab Suci dan Gereja. Kemampuan tersebut adalah rahmat, dianugerahkan sendiri oleh Allah, dan digunakan demi ternyatakannya karya keselamatan Allah.

Bisa pula orang memiliki kemampuan tertentu lebih karena bakat kodrati, sesuatu yang melekat pada karunia yang melekat pada kodrat insani. Hal ini bukan sesuatu yang sepenuhnya negatif, karena di dalam kodrat insani bisa pula bekerja rahmat.

Sejauh ini belum pernah ada ajaran resmi Gereja mengenai paranormal. Akan tetapi kalau kita menyimak bisa ditemukan bahwa pada tahun 2003 dikasteri (departemen kepausan) Budaya dan Dialog Agama mengeluarkan dokumen tentang New Age, karena gejala keparanormalan disinggung pula di dalamnya. Gejala keparanormalan tersebut disadari bicara tentang energi, keterkaitan hidup dengan daya-daya alami, daya rohani di luar dirinya, bahkan di luar kehidupan. Oleh karena itu orang lalu mencari guru-guru,. Tetapi, dikhawatirkan bahwa pencarian tersebut bisa hanya sekedar psikologis belaka atau terjebak dalam pesan “Injil kemakmuran”, yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

Jebakannya adalah orang lebih mencari pemenuhan diri, di balik penggalian akan kesembuhan ataupun kebutuhan-kebutuhan tertentu, bahkan jabatan ataupun kekayaan. Pencarian ini akan membuat orang bisa hanya berhenti pada dirinya sendiri, atau pada kemampuan yang ada pada dirinya sendiri. Di sini orang bisa terjebak, demikian dokumen tersebut mengatakan, pada narsisme spiritual atau mistisisme palsu. Dimaksudkan dengannya adalah berhenti pada rasa aman belaka, berhenti pada dunia privat pemenuhan diri yang berjarak dari dunia nyata.

Pertanyaan lebih lanjut, sejauhmana kesadaran akan Allah, Pribadi Ilahi, dan Yesus Kristus sebagai Putra yang menjelma sungguh disadari. Sebab satu-satunya yang menyelamatkan dan menyembuhkan, memberikan kekuatan dan pelepasan dari segala beban dan derita hanyalah Yesus Kristus. Yesus adalah satu-satunya air hidup. Kalau orang hanya berhenti pada sarana penyembuh atau orangnya saja, paranormalnya, maka mereka tidak akan sampai pada Allah.

Kriteria ini berlaku pula bila seorang imam menjadi paranormal. Apakah daya keparanormalan tersebut semakin membawa orang kepada Allah atau hanya berhenti pada dirinya sendiri serta sarana-sarana yang dipakai untuk itu. Apakah imam tersebut semakin mendalam hidupnya, hidup iman serta kerendahan hatinya, serta dalam menjalankannya tidak bertentangan dengan ajaran iman Gereja. Maka, entah siapa pun yang memiliki daya-daya tersebut, diharapkan semakin menumbuhkan hidup Kristiani, penghayatan sakramen-sakramen Gereja dan hidup mengereja secara utuh, pun ketaatan pada kuasa mengajar dan kepemimpinan Gereja. Dengan demikian, mereka menyadari keterbatasan dirinya, dan dalam kerendahan hati serta kerapuhan dirinya tetap mengakui dirinya hanyalah pelayan karya keselamatan Kristus di dalam tubuh Gereja ini.

Telephorus Krispurwana Cahyadi SJ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles