HIDUPKATOLIK.com – Ia melibati panggilan sebagai volunteer bagi Tuhan, di Papua. Ia ingin melayani, mendampingi, dan berjuang bersama anak-anak dan masyarakat melalui pendidikan. Harapannya, anak-anak di sana bisa berkembang seperti anak-anak di daerah lain.
Suatu saat Maria Magdalena Alphonsa Sie Hwie Na PRK mampir di ruangan . Di sana, ia membaca artikel tentang guru Muslim yang mengajar agama Katolik di pedalaman Papua. Usai membaca, ia tak menghiraukan lagi artikel itu. Ia memaklumi situasi di Papua yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan guru.
Sembilan hari berselang, pesan singkat masuk ke telepon genggamnya dari RP C. Budiarto SJ, yang melayani umat di Paroki Waghete, Papua. Romo Budi menanyakan dan menawarkan apakah Hwie Na bisa membantu menjadi guru volunteer (relawan) kelas 2 SD di Waghete. Pelamar yang sudah diterima menjadi calon volunteer dan sedianya berangkat tidak jadi berangkat.
“Sebagian yang melamar justru dari non Kristiani. Padahal, mengajar kelas 2 berarti mengajar seluruh mata pelajaran, termasuk agama Katolik. Lang sung saya ingat artikel yang pernah saya baca di KPP KAS tentang guru di pedalaman Papua. Saya memutuskan untuk berangkat ke Waghete. Tuhan mau saya ke Waghete menjadi volunteer. Saya yakin ditunggu oleh anak-anak dan Tuhan di sana,” ki sah Hwie Na.
Hwie Na menerima tawaran Romo Budi untuk membantu karya pendidikan yang dimotori Serikat Yesus (SJ) di Waghete. Pada 2 September 2013, ia berangkat. Selama satu tahun ini, ia mengabdikan diri dalam karya pelayanan dengan mengajar dan mendampingi anak-anak SD di Waghete.
Sebelumnya, Hwie Na pernah menjadi volunteer karya pendidikan Jesuit, baik formal dan non formal di Sorong dan Nabire. Kini, Waghete menjadi ladang menyemai benih pelayanannya. Baginya, pelayanan ini adalah pangg ilan Tuhan bagi dirinya.
Pemberian diri
Hwie Na lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Orangtuanya non Katolik. Ia tertarik menjadi Katolik dan dibaptis pada 5 Desember 1986. Dua tahun berselang, ia merasa terpanggil untuk menjadi awam yang ber kaul dan bergabung menjadi anggota Institut Sekular Penebar Ragi Kristus (PRK) di KAS. Ia mengikrarkan kaul pertama pada 25 Maret 1992 dan berkaul kekal pada 25 Maret 1997.
“Saya tertarik masuk PRK karena ingin melayani sesama di tengah masyarakat; tidak melalui panggilan hidup membiara. Ini sesuai dengan dinamika kehidupan saya. Dengan spiritualitas menguduskan dunia dalam dunia,” tuturnya.
Hwie Na berharap bisa melayani sesama yang membutuhkan. “Iman Gereja selalu mendorong umat untuk bersedia melayani sesama yang membutuhkan, meski di tempat jauh. Sebagai anggota Gereja, saya terdorong untuk ikut melayani sesama dengan menerima perutusan dari-Nya. Menjadi volunteer juga merupakan wujud nyata saya sebagai anggota PRK di Keuskupan Agung Semarang,” kata perempuan kelahiran Solo, 25 Juni 1962 ini.
Pengalaman pertamanya sebagai volunteer ialah bergabung dengan karya Jesuit di Sorong. Tahun 1998 Hwie Na mengikuti kursus Analisis Sosial (Ansos) di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Waktu itu, RP Yus Felix MSC yang berkarya di salah satu paroki di Keuskupan Agung Merauke mengajaknya untuk option for the poor di parokinya. Berhubung saat itu ia masih mengikuti kursus menjahit, Romo Yus meminta Hwie Na menghubunginya setelah selesai kursus. Namun selesai kursus, ia tidak menghubungi Romo Yus.
Jalan lapang untuk melayani sebagai volunteer di tanah Papua seolah telah disediakan Tuhan bagi Hwie Na. Ketika ia mengantarkan RP Anton Mulder SJ ke Komunitas Kanisius Menteng Jakarta, ia bertemu dengan RP Vincentius Sugondo SJ dari Do School Aimas Sorong. Romo Gondo mengajaknya untuk option for the poor di Sorong. “Ajakan Romo Gondo ini mengingatkan kata-kata Yesus pada Petrus: “Apa Petrus mencintai Aku? Saya pun menerima tawaran Romo Gondo dengan jawaban “ya”. Saya merasa Tuhan juga berkata: “Hwie Na, apa kamu mencintai Aku?” Saya diingatkan Tuhan akan ajakan Romo Yus ke Merauke. Saat itu saya sadar, Tuhan mau agar saya melayani masyarakat Papua,” ungkap perempuan yang pernah melayani di Sekretariat Paroki St Yusup Gedangan, Semarang ini.
Selama empat tahun (1999-2003), Hwie Na melayani sebagai volunteer di Do School Aimas Sorong, karya Jesuit di bidang pendidikan non formal. Empat tahun kemudian, ia kembali menginjakkan kaki di Papua untuk menjadi volunteer di SMA Adhi Luhur Nabire (2007-2010). Pada 2010- 2012, ia kembali melayani di Do School Aimas Sorong. “Akhirnya Tuhan menghendaki saya ke Waghete. Baru satu tahun ini di Waghete. Paling tidak dua tahun… Jika kehendak Tuhan, bisa lebih dari dua tahun. Tergantung pada rahmat Tuhan,” ujarnya.
Hwie Na mengajar kelas 2 di SD YPPK St Fransiskus Xaverius Waghete. Pagi hari ia mengajar di sekolah. Sementara sore harinya, ia memberi les kepada anak-anak. “Ini sebagai sarana tempat anak-anak belajar… pelajaran tambahan.”
Selain itu, Hwie Na mengajarkan ketrampilan kepada anak-anak. Setiap Minggu kedua, ia mengajar memasak dan Minggu keempat menjahit. Ia pun memberikan pendampingan Kitab Suci pada Kamis ketiga bagi anak-anak Asrama putri yang dikelola oleh Tarekat Suster- Suster Maria Mediatrix (TMM).
Pengalaman mendampingi anak-anak di Waghete meninggalkan kesan tersendiri di hatinya. Salah satu pengalaman mengesankan adalah saat berhadapan dengan seorang murid yang seharusnya sudah duduk kelas 4 SD. Awal Hwie Na mengajar, anak itu hanya diam, duduk paling belakang, dan tak mau menulis. Anak itu juga belum lancar membaca dan sudah dua kali tidak naik kelas.
“Saya terus menyapa dan mendekatinya. Berkat Tuhan, suatu saat tiba-tiba ia pindah duduk paling depan, dekat meja saya. Anak itu mulai mau mengerjakan tugas-tugas sekolah,” ujar Hwie Na. Bahkan, anak itu mengikuti les belajar membaca untuk kelas 1 pada pukul 14.00 WIT dan ikut belajar bersama anak kelas 2 pada pukul 15.00 WIT. Meski belum lancar membaca, ia punya kemampuan berhitung yang baik. Menurutnya, ia rajin bersekolah dan mengikuti les. Kini ia sudah kelas 3. Hwie Na bersyukur, ia bisa berubah. Hwie Na berharap, anak ini bisa melalui masa pendidikannya dengan baik.
Berjuang Bersama
“Di Waghete, saya belajar hidup sederhana dalam segala, baik materi maupun pola pikir. Berkomunikasi dengan masyarakat dan anak Papua juga harus sederhana. Pun hidup apa adanya,” kata Hwie Na, yang memeluk keyakinan bahwa dirinya mampu bertahan sebagai volunteer, karena berkat Tuhan. “Tuhan mengutus saya ke Waghete untuk membantu anak-anak Papua yang terpinggirkan agar mereka berkembang, dan membangun kepercayaan anak Papua bahwa mereka pun pandai seperti anak-anak Indonesia di daerah lain,” tandasnya.
Bagi Hwie Na, kesempatan untuk terlibat sebagai volunteer di Papua merupakan rahmat yang ia terima dalam hidupnya. Hal itu menjadi perjalanan yang berarti dalam tapak-tapak peziarahan hidupnya. Pun menjadi kesempatan untuk mengenal, hidup di tengah anak-anak dan masyarakat Papua, serta berjuang bersama mereka demi menggapai masa depan melalui dunia pendidikan.
Maria Pertiwi