web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Terus Melatih dan Mendampingi

3.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sikap para pimpinan Seminari Tinggi seluruh Indonesia terbelah soal kepemilikan dan penggunaan handphone (hp) oleh frater.

Telepon genggam bukan lagi barang langka. Hampir semua orang bisa memilikinya. Bahkan, alat komunikasi yang kerap dianalogikan sebagai pedang bermata dua ini menembus “tembok” rumah pendidikan calon imam.

Berikut nukilan wawancara dengan mantan Rektor Seminari Tinggi St Paulus Kentungan, Yogyakarta dan kini menjadi Sekretaris Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia Pastor Joseph Kristanto Suratman, di ruang kerjanya, di Jakarta, Rabu, 11/4.

Sejak kapan persoalan kepemilikan dan penggunaan hp pribadi di kalangan para frater mengemuka?

Sejak mulai ada hp di Indonesia. Secara khusus di Seminari Tinggi di Regio Jawa, keberadaan hp marak sekitar sepuluh tahun lalu. Sebelum tahun itu, hp masih terbilang cukup langka lantaran harganya mahal. Karena itu, salah satu alasannya, ada pimpinan Seminari Tinggi melarang frater membawa dan menggunakan hp pribadi.

Dalam pertemuan para rektor Seminari Tinggi seluruh Indonesia di Ambon tahun lalu juga soal hp muncul. Memang tak secara spesifik karena saat itu kami membahas spiritualitas imam diosesan. Di tengah pembicaraan muncul topik soal hp. Dari situ diketahui, ada Seminari Tinggi yang membolehkan frater membawa hp dengan catatan tidak mendapatkan uang saku. Ada yang melarang soal itu. Ada yang membatasi. Misal hanya tingkat lima hingga tujuh (usai tahun pastoral) yang boleh memiliki barang pribadi itu.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Apa latar belakang larangan atau pembatasan itu?

Ada waktu yang terpakai ketika orang menggunakan hp untuk chatting, membalas pesan atau mengakses media sosial. Harus diakui, kadang ada yang larut melakukan itu. Semula mengira hanya sejam tetapi kenyataannya hingga berjam-jam. Padahal di seminari tiap jam memiliki kegiatan masing-masing.

Sempat ada kabar yang saya terima, frater yang memiliki hp ternyata punya “formator” lain di luar tembok seminari. Wujud “formator” lain itu beragam, ada pastor paroki, rekan seangkatan yang keluar dari seminari, ada juga pacar. Dengan memiliki hp pribadi, mereka bisa sesuka hati berkomunikasi, bahkan ada yang hingga larut malam. Akibatnya, mereka sulit bangun pagi, tak hadir atau sulit Misa dan meditasi. Karena itu, demi menjaga kebaikan bersama, perlu ada pembatasan soal kepemilikan dan penggunaan hp.

Pembatasan itu untuk mengasah kepekaan. Saya pernah melihat langsung kejadian yang tak elok. Suatu kali, saat pertemuan para imam, ada imam-imam yang baru datang dan berkumpul, yang pertama dilakukan adalah mengeluarkan hp-nya. Seakan ingin memamerkan model dan versi anyar hp mereka. Padahal mahar itu bukan usaha pribadi tapi pemberian umat.

Rasa peka mereka sudah mati. Pada saat itulah, tanpa disadari, martabat imamat mereka jatuh. Saya tidak menyalahkan umat. Hal itu takkan terjadi kalau kaum berjubah bisa membatasi diri dan peka. Keutamaan itu memang harus dilatih sejak dini dan terus-menerus.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Ada Seminari Tinggi yang melarang namun ada yang melegalkan. Mengapa itu bisa terjadi?

Bagi saya, frater yang masih meniti studi strata satu (tingkat pertama hingga empat) sama sekali jangan memiliki dan menggunakan hp pribadi. Sementara frater yang sudah menyelesaikan tahun pastoral diizinkan. Tujuannya, demi memudahkan komunikasi dengan pastor paroki dan umat untuk kebutuhan pastoral, rekan seangkatan, dan pembina.

Ketika menjadi rektor, saya tak keberatan mereka membawa hp pribadi. Alasannya, benda ini bisa menjadi sarana pembinaan. Karena itu, saya meminta para pendamping terus membimbing dan berdialog dengan mereka, misal tentang penggunaan alat komunikasi itu. Bagi saya ini penting, agar kelak begitu ditahbiskan menjadi imam, mereka sanggup membatasi diri. Malu dong jika minta hp kepada umat. Laporan seperti ini biasanya cepat masuk ke seminari.

Tentu ada berbagai alasan munculnya larangan itu, misal para formator tak memiliki cukup waktu untuk mendampingi khusus para frater yang memiliki hp. Ada yang beralasan tak ingin menambah persoalan. Tetapi ada juga yang beralasan hal itu bakal menambah pekerjaan. Dimaklumi sebab mayoritas pembina di Seminari Dinggi juga menjadi dosen di sekolah tinggi atau universitas.

Sementara Seminari Tinggi yang melegalkan hp beralasan demi memudahkan komunikasi dengan umat, keluarga, dan keperluan kuliah. Tetapi ada yang mengizinkan lantaran seminari tak memiliki cukup dana membeli hp dan pulsa untuk bersama.

Bagaimana sikap Komisi Seminari?

Komisi Seminari tidak memiliki wewenang melarang atau mengizinkan. Keputusan itu ada pada masing-masing uskup. Tugas kami membantu uskup seperti menganimasi, memfasilitasi pertemuan para rektor, mengadakan seminar dan kursus untuk para formator, serta membantu uskup menyiapkan calon imam dan pembina di seminari.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Apa harapan Pastor?

Kita tak bisa lagi melarang suatu saat nanti. Sebab, mereka yang masuk seminari kelak adalah generasi millenial. Sejak kecil mereka sudah bersentuhan dengan alat itu. Sehingga, jika dilarang mungkin tak ada lagi orang yang mau masuk seminari. Karena itu, para formator juga harus mendapat pola pendampingan milenial.

Persoalan hp sangat serius dan kompleks sebab seminari merupakan “ladang” pembinaan pertama untuk calon imam. Karena itu mereka perlu terus didampingi dan dibina, misal hanya menggunakan hp pada waktu dan tempat tertentu. Bila pembinaan ini terus-menerus berlangsung kelak menjadi habit.

Tak bisa mengandaikan waktu bakal menjawab segalanya. Pembinaan lewat pengandaian justru bisa menipu diri sendiri, formator, atau orang lain. Aturan soal penggunaan hp bukan sekadar membatasi tapi justru mengasah kepekaan, kejujuran, kesederhanaan, dan kerendahan hati calon imam. Demi memiliki keutamaan ini harus ada pembinaan habit dari awal.

Bila abai, dampaknya bakal terjadi kemudian. Misal, tiap hp baru keluar, frater atau imam meminta umat membelikannya. Jika terjadi terus menerus, mereka rentan disetir umat atau menjadi “romo keluarga”. Padahal mereka ditahbiskan untuk semua umat.

Yanuari Marwanto

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles