HIDUPKATOLIK.com – Mengapa perayaan Paskah yang sedemikian penting, seperti Hari Minggu Paskah kedua, bisa dengan mudah digantikan oleh perayaan Hari Minggu Kerahiman Ilahi? Bukankah Kerahiman Ilahi itu hanyalah sebuah devosi? Karena dirayakan pada puncak oktaf Paskah. Apakah perayaan ini tidak mengaburkan makna penting dari Hari Raya Paskah Kebangkitan? Mengapa tidak diletakkan di hari Minggu lain sehingga tidak mengaburkan makna Kebangkitan?
Emanuel Imam Wartadi, Semarang
Pertama, sesungguhnya Minggu Kerahiman Ilahi sama sekali tidak menggantikan Minggu Paskah II, karena semua unsur liturgi yang digunakan masih tetap sama. Bacaan-bacaan dari Minggu Paskah II dan Mazmur tetap sama, demikian pula doadoa untuk perayaan Ekaristi, juga masih tetap sama. Minggu Kerahiman Ilahi tidaklah menggusur apapun dari Minggu Paskah II karena yang terjadi hanyalah pemberian nama pada hari terakhir Oktaf Paskah. Sama halnya dengan hari terakhir Oktaf Natal, 1 Januari, diberi nama Hari Raya Santa Maria Bunda Allah. Maka, nama resmi yang berlaku untuk Minggu sesudah Paskah ialah Hari Minggu Paskah II Kerahiman Ilahi.
Kedua, memang benar, ada gerakan devosi Kerahiman Ilahi, yang berasal dari penampakan-penampakan Yesus kepada Sr Faustina Kowalska. Tetapi, perayaan Hari Minggu Kerahiman Ilahi bukanlah perayaan milik kelompok devosional Kerahiman Ilahi itu. Maka kurang tepat, bila Kerahiman Ilahi hanya disempitkan pada identitas sebuah devosi.
Kerahiman adalah sifat Allah yang berbelaskasih dan penuh pengampunan. Kerahiman Allah adalah kepedulian-Nya yang penuh kasih pada kita masing-masing. Kerahiman adalah kata kunci yang menunjukkan tindakan Allah terhadap kita (Misericordiae Vultus/MV 9). Seluruh sejarah keselamatan adalah sejarah perwujudan kerahiman Allah kepada manusia. Kerahiman sebagai sifat Allah justru ditujukan dan diwujudkan bagi semua orang. Kerahiman adalah fondasi hidup Gereja sendiri. Kredibilitas Gereja itu sendiri terlihat, dalam bagaimana ia menunjukkan cinta, yang penuh belas kasih dan bela rasa. Sudah wajar dan selayaknya, jika seluruh Gereja merayakan kerahiman ilahi (MV 10).
Ketiga, tidak ada pertentangan sama sekali antara kerahiman ilahi dan perayaan Paskah Kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus terkait sangat erat dengan dan bahkan merupakan ungkapan tertinggi dari kerahiman ilahi. Kebangkitan Yesus tidak akan bisa dimengerti secara tepat tanpa perspektif Kerahiman Ilahi. Wafat Yesus di salib adalah ungkapan kerahiman Allah yang terbesar. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Dalam surat MisericordiaeVultus, Paus Fransiskus melukiskan kaitan erat atara kerahiman dan misteri Paskah kebangkitan Yesus: “Sebelum sengsara-Nya, Yesus berdoa dengan Mazmur belas kasih ini. Matius memberi kesaksian mengenal hal ini dalam Injilnya ketika ia mengatakan bahwa, ‘sesudah menyanyikan nyanyian pujian’ (26:30). . . .Sementara Ia mengadakan Ekaristi sebagai kenangan abadi akan diri-Nya dan kurban Paskah-Nya, secara simbolis Ia menempatkan tindak pewahyuan yang amat luhur itu dalam terang kerahiman-Nya. Dalam konteks kerahiman yang sama, Yesus menghayati sengsara dan wafat-Nya, sadar akan misteri agung kasih yang akan digenapinya di kayu salib” (MV 3).
Jadi sesungguhnya, perayaan Minggu Kerahiman Ilahi ini sungguh sangat tepat ditempatkan sebagai puncak dari Oktaf Paskah karena secara liturgis perayaan Oktaf Paskah itu selalu dipusatkan pada tema Kerahiman Ilahi dan pengampunan. Sesudah doa Regina Caeli pada Minggu Paskah II tahun 1995, Santo Yohanes Paulus II itu berkata dalam kotbahnya: “Seluruh Oktaf Paskah adalah bagaikan satu hari . . . yang dimaksudkan untuk mengungkapkan syukur atas kebaikan Allah yang telah ditampakkan kepada manusia dalam seluruh misteri Paskah.”
Petrus Maria Handoko CM