HIDUPKATOLIK.com – Gereja diingatkan Fransiskus akan tugasnya untuk mewartakan Injil. Tugas tersebut mendorong untuk mau menjumpai sesama, pun alam ciptaan.
Di Vatikan, 13 Maret 2013 ada kejutan. Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus dan mengenakan nama Fransiskus. Banyak yang tidak menduga bahwa Bergoglio yang akan terpilih, bahkan Benediktus XVI pun tidak mengira dia yang akan terpilih. Namun, Paus Emeritus gembira begitu melihat Fransiskus tampil setelah terpilih. Kejutan tersebut kemudian disambut dengan berbagai kejutan-kejutan lain. Bagi Benediktus XVI hal itu dikatakan sebagai tanda hidup Gereja yang dinamis, bergerak, terbuka, dan tersedia akan suatu perkembangan baru.
Dalam pertemuan para kardinal sebelum pemilihan Paus diungkapkan bagaimana Bergoglio menggambarkan tentang sosok Paus yang dibutuhkan Gereja. Baginya, dia seseorang, yang dari kontemplasi dan kebaktiannya akan Yesus Kristus, membantu Gereja untuk keluar ke ujung batas eksistensial, yang membantu Gereja agar menjadi seorang ibu yang penuh berkat, yang memperoleh hidup dari sukacita yang lembut dan meneguhkan karena mewartakan Injil. Paus diharapkan membawa keluar Gereja dari keberpusatan pada dirinya sendiri, tidak sibuk mewartakan terang dirinya, namun menyatakan terang Kristus. Bagi Ratzinger gambarannya serupa, seorang Paus bukan terutama seorang intelektual, organisator, manajer, namun seorang pribadi yang hidup di hadapan Allah. Paus adalah seorang pelayan Injil Kristus, yang mewartakan dan mewujudkan belaskasih dan kemurahan hati Allah yang menyelamatkan.
Belas Kasih
Belaskasih, itulah kata kunci masa kepausan Fransiskus. Belaskasihan atau kemurahan hati, itulah pesan dasar Injil: wajah Allah dan kesaksian Gereja. Paus Benediktus XVI sendiri, mengatakan bahwa belaskasih merupakan tanda-tanda zaman yang semakin penting dan menentukan untuk zaman kini. Hanya dengan belaskasihan lah kejahatan punah, kekerasan pudar. Hal ini sebenarnya sudah menjadi keyakinan dasar Gereja, namun Paus Fransiskus menegaskan dan menyatakannya secara tegas dan berulang.
Dua gambaran biblis yang beberapa kali dipakai oleh para pengamat tentang wajah Gereja di bawah penggembalaan Fransiskus adalah kisah orang Samaria yang murah hati (Luk 10:25-37) dan kisah dua murid Emaus (Luk 24:13-35). Yang satu berkisah tentang kemurahan hati yang melampaui sekat batas, yang lain tentang kesediaan menemani pergulatan kegelisahan sesama. Yang pertama hendak menegaskan panggilan Gereja untuk keluar dan melayani, tanpa membeda-bedakan, sehingga kehadirannya sungguh menjadi tanda kehadiran kasih penyelamatan Allah. Yang kedua ditempatkan dalam kenyataan akan situasi dewasa ini, di tengah kegelisahan hidup dan kegamangan langkah banyak orang. Kisah yang pertama menunjukkan bukan status, betapapun imam, yang menjadi tolok ukur, namun kesediaan melayani dan berbagi. Kisah yang kedua berbicara tentang kesediaan serta keberanian pelayanan Gereja untuk membuka cakrawala iman, mewartakan pewahyuan Allah hingga akhirnya orang berjumpa sendiri dengan Allah.
Maka tantangan kita lebih pada kebutuhan untuk menanggapi secara tepat rasa haus banyak orang akan Allah, supaya mereka jangan mencoba untuk memuaskannya dengan solusi-solusi yang mengasingkan diri dari Allah atau mencari perjumpaan dengan Yesus yang terpisah dari tubuh-Nya, yang tidak menuntut apa pun dari kita berkaitan dengan sesama. Jika kita tidak menemukan dalam Gereja suatu spiritualitas yang dapat menawarkan penyembuhan dan pembebasan, serta mengisi mereka dengan hidup dan perdamaian, seraya sekaligus memanggil mereka kepada persekutuan persaudaraan dan buah-buah misioner, mereka akhirnya akan ditipu oleh jalan pemecahan yang tidak membuat hidup mereka menjadi sungguh-sungguh manusiawi ataupun membawa kemuliaan bagi Allah. Dokumen terakhir dari Kongregasi Ajaran Iman, Placuit Deo, menegaskan hal ini, dengan berbicara tentang kesesatan zaman ini. Akhirnya, pengalaman rahmat berkat relasi personal mendalam dengan Kristus yang menjadi dasar.
Pengalaman akan Allah tersebut adalah pengalaman perjumpaan dengan belaskasihan Allah. Kemurahan hati Allah nyata dalam tindakan penyelamatan-Nya, dalam kasih untuk memulihkan hidup dan dunia kehidupan kita, rekonsiliasi dengan Diri-Nya, dengan diri sendiri, dengan sama dan dengan alam ciptaan. Hal itu berarti menjadi dekat dengan-Nya, mengikuti jejak-Nya dengan menanggalkan diri dan menjumpai sesama serta bersama-Nya menjumpai mereka yang ada di pinggiran, yang sedang mengalami kesulitan. Hanya dengan begitu, kita akan sanggup mewartakan dan menyatakan kabar gembira keselamatan kasih Allah, Allah yang dalam belaskasihan-Nya menyelamatkan milik ciptaan-Nya. Tidak mengherankanlah kalau Paus Fransiskus menyebut, bahwa kita adalah pelayan sukacita Injil.
Diskresi
Gereja diingatkan Fransikus akan tugasnya untuk mewartakan Injil. Tugas tersebut mendorong untuk mau menjumpai sesama, pun alam ciptaan. Perjumpaan tersebut adalah perjumpaan personal, bukan perjumpaan dengan program, doktrin, norma ataupun kebiasaan masa lalu, sehingga persoalan dihadapi secara gradualitas permasalahan. Paus beberapa kali mengungkapkan prinsip diskresi, penegasan rohani dalam menghadapi pribadi. Konsekuensinya, dihindari sikap rigid, kaku dan beku, yang malahan mematikan perjumpaan dan kalau tidak hati-hati bisa menghambat karya Roh Kudus.
Hal ini menuntut pertama-tama kesediaan untuk senantiasa terbuka akan terang bimbingan Roh, yang dalam kesetiaan akan dan dalam iman, mendorong kita untuk menjumpai sesama, menyatakan tindakan penyelamatan Allah. Hal ini menuntut kreativitas langkah untuk mencari serta menemukan. Oleh karena itu, kepekaan diharapkan untuk senantiasa dihidupkan: peka akan Roh Kudus dan peka akan pribadi serta realitas. Dalam bahasa Vatikan II dikatakan sebagai: mengenali tanda-tanda zaman dalam terang Injil.
Langkah ini mengajak kita untuk senantiasa melangkah dan cara baru dalam mewartakan Injil keselamatan. Dalam hal ini kita menyaksikan bagaimana Paus Fransiskus kerap mengejutkan kita, entah dengan pernyataan maupun tindakannya. Gereja senantiasa kaya akan inovasi dan kreativitas, demikian diadakan kompetisi untuk menemukan peluang-peluang penanaman kesadaran sosial dengan teknologi informasi. Gereja diharapkan tidak menjadi tertutup dan beku, namun terbuka agar semakin setia akan tugasnya untuk mewartakan Injil dan ikut serta mewujudkan keselamatan kasih Allah.
Bisa lalu dikatakan bahwa hidup berada dalam tegangan, berjalan dalam kesiap-sediaan berada dalam kejutan, itulah yang kita alami selama 5 tahun masa kepausan Fransiskus. Memang hidup dalam Roh senantiasa memasukkan kita dalam momen-momen kejutan. Namun kejutan itu baru berarti kalau kita alami dan simak dalam keterbukaan akan terang bimbingan Roh Kudus. Hal itu berarti, bahwa kita harus senantiasa berdoa agar Bapa Suci dan Gereja senantiasa dituntun oleh Roh-Nya, agar kita pun selalu diperbaharui oleh-Nya, sehingga semakin setia dalam karya penyelamatan jiwa-jiwa.
Tentu Paus bukanlah segalanya. Paus bagaimana pun adalah pelayan Kristus di dalam Gereja-Nya. Maka, Paus Fransiskus akhirnya hanyalah seorang pelayan sukacita Injil.
T. Krispurwana Cahyadi SJ, Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta (Puspita)