web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mengangkat Martabat Orang Sakit Jiwa

4.4/5 - (7 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pastoral untuk penyandang gangguan jiwa belum terlalu tampak, mereka kerap disingkirkan. “Kalau tak mau menolong, jangan ganggu mereka,” pesan Pater Avent

Ada yang menyebut Pater sebagai “Pastor orang gila” karena pelayanan kepada penyandang gangguan mental. Bagaimana tanggapan Pater?

Saya tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Apa pun jawaban saya hanya akan membuat stigma itu lama terbongkar. Tak usah menanggapi itu lebih bagus.Tetapi mungkin saya cukup menjelaskan apa arti kata gila. Gila adalah kata yang cocok digunakan untuk hal-hal yang mengagumkan. Misal, seorang anak selalu mendapat nilai 9 sejak SD hingga SMA. Kita pantas katakan “gila anak ini. Pintar sekali. Luar biasa.”

Kata gila, dari contoh tersebut, merupakan penamaan terhadap sesuatu yang mengagumkan, luar biasa, atau prestasi. Nah, gangguan jiwa? Apakah itu hal yang mengagumkan, luar biasa, atau prestasi? Tidak. Gangguan jiwa adalah sebuah persoalan, sesuatu yang memprihatinkan. Kita harus atasi.

Apakah itu menjadi menjadi fokus pastoral Pater sekarang?

Tugas utama saya adalah wartawan koran harian Flores Pos di Ende. Menaruh kepedulian terhadap orang dengan gangguan jiwa hanyalah sebuah pastoral kreatif. Setelah menjumpai korban (penyandang gangguan jiwa), saya menulis berita dan refleksi tentang kasus pasung sadis. Berita dan refleksi itu dipublikasikan di Flores Pos dan media sosial Facebook. Setelah itu, semakin banyak laporan tentang keberadaan orang dengan gangguan jiwa baik di Ende maupun di luar Ende yang saya terima.

Saya menerima semua laporan itu. Tetapi saya tidak tahu apa yang bisa saya buat terhadap mereka. Sejak 2014 sampai awal 2016, saya hanya mengunjungi mereka di rumah-rumah. Itu saja.

Pada Februari 2016, saya baru tahu bahwa ada obat khusus untuk mengatasi gangguan jiwa. Maka, saya bekerjasama dengan seorang dokter di Ende. Dokter menyediakan obat, saya membeli obat itu, dan memberikan kepada para pasien.

Apa pengalaman paling berkesan?

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Saya kurang membedakan antara yang berkesan dan tak berkesan. Semua pengalaman perjumpaan dengan mereka adalah utuh. Saya jalani saja semampu saya. Mungkin, sejak 2014 hingga kini ada dua kenyataan yang sangat mendesak untuk kami tangani. Pertama, ada banyak orang dengan gangguan jiwa yang bergelandang di jalan-jalan kota dan kampung-kampung. Mereka tidak memiliki jaminan ekonomi, rumah, keluarga, kesehatan, pemberdayaan, politik, dan agama.

Mereka benar- benar tidak berdaya, terpinggirkan. Bumi ini dan segala isinya termasuk kita sekalian menjadi sangat asing bagi mereka. Saya dan kawan-kawan yang peduli mencoba untuk mencari keluarganya.

Kedua, ada banyak laporan tentang kasus pasung. Kami menjumpai mereka dipasung. Kami memberi mereka obat, makanan, dan pakaian. Setelah beberapa bulan bahkan tahun, kami baru bisa membebaskan mereka dari pasungan. Mereka mesti dilindungi. Saya memimpikan rumah sehat jiwa bagi mereka.

Apakah Pater juga memberikan layanan Sakramen kepada mereka?

Saya belum melakukannya. Saya dan relawan menemui mereka yang bergelandang di jalan kota Ende atau di beberapa daerah lain, misal di Maumere, Lembata, Mbay, Ruteng, Kupang, dan Kefamenanu. Relawan kami juga ada di sana. Kami juga memberikan obat kepada mereka yang dipasung atau dikurung.

Kami membangun pondok yang bagus untuk mereka yang dipasung di luar rumah. Mereka yang telah pulih, kami berdayakan dengan memberikan ternak agar bisa bekerja. Ada juga yang mencari pekerjaan sendiri. Kami juga memandikan, menggunting rambut dan kuku, mengantar ke tempat rehabilitasi dan membongkar pasung, mengurus obat di puskesmas, mengurus Jaminan Kesehatan Daerah dan BPJS Kesehatan untuk mereka.

Kami juga melakukan kampanye kesehatan jiwa, menulis berita dan opini di media massa dan media sosial, mengadakan seminar, menerbitkan buku, dan membentuk relawan di berbagai daerah. Bagi keluarga, kami memberikan pencerahan spontan tentang gangguan jiwa, martabat manusia, dan penanganan orang dengan gangguan jiwa.

Apa ada tantangan dari orang sekitar?

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Semula saya mengira, kami hanya menangani penyandang gangguan jiwa. Ternyata masyarakat juga. Banyak stigma sosial atau kesan negatif dari masyarakat untuk penyandang gangguan jiwa. Mereka dipandang tidak produktif, bukan manusia, pantas dipasung, diolok-olok, tidak perlu diurus, dan membebani keluarga serta masyarakat.

Gangguan jiwa juga dianggap sebagai aib, kutukan Tuhan dan nenek moyang, kurang beriman, kesalahan adat, dan dosa nenek moyang. Pandangan negatif itu ada pada semua lapisan masyarakat, termasuk hierarki Gereja. Sehingga tidak ada kebijakan pastoral untuk orang dengan gangguan jiwa.

Begitu juga saat kami berbicara tentang orang dengan gangguan jiwa, mayoritas umat bahkan pemimpin umat (pastor, suster, bruder, frater, awam) senyum atau tertawa sinis. Bahkan mereka menakuti kami, “Awas, kalian juga akan mengalami gangguan jiwa”.

Kita semua memiliki potensi gangguan jiwa. Sebab kita semua adalah manusia yang terdiri dari tubuh, roh, dan jiwa. Sinis adalah sebuah pelecehan terhadap martabat sendiri.

Lantas, apa yang membuat Pater bertahan dalam karya ini, bahkan mampu menggerakan banyak orang sebagai relawan?

Saya tidak bisa mengatakan, bahwa saya bertahan. Saya menjalankan semampu saya, semampu kawan-kawan relawan. Saya hanya membaca kenyataan hidup mereka yang sangat susah. Benar-benar mereka bukan manusia lagi, tak memiliki jaminan apa-apa dalam hidup.

Mereka tidak merasa membutuhkan saya. Tetapi saya dan kawan-kawan merasa bahwa mereka membutuhkan kami. Bertahan atau tidak, itu bukan inti. Sejauh mereka ada, kami tolong.

Saya juga merasa tidak pernah menggerakkan orang untuk peduli terhadap penyandang gangguan jiwa. Saya melihat, melalui publikasi saya di media sosial dan media massa, orang merasa tergerak. Jadi orang itu sendiri yang merasa tergerak.

Karya ini tentu membutuhkan dana. Dari mana Pater mendapatkan? Apa saja yang menjadi pengeluaran rutin?

Dana diperoleh dari para relawan. Mereka memberikan semampu dan seikhlasnya. Tidak ada donatur tetap. Kami memiliki tujuh pasien di panti rehabilitasi jiwa. Biaya bulanan mereka Rp1,5 juta. Jumlahkan saja untuk total tiap bulan. Kami tidak bisa memenuhi itu setiap bulan karena bergantung pada ada-tidaknya sumbangan sukarela tersebut. Kami juga harus membeli obat setiap bulan untuk para pasien di rumah-rumah atau yang dipasung. Tidak semua pasien mendapat obat dari puskesmas atau rumah sakit. Pembelian obat berkisar Rp 3-4 juta setiap bulan. Kadang ketika obat ada, uang belum ada. Maka tak jadi beli.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Seandainya ada umat yang tergerak untuk melayani seperti yang Pater lakukan, apa yang perlu mereka miliki?

Semua manusia memiliki hati dan kepedulian. Wujudkan kepedulian itu. Soal harta dan pengetahuan, itu kemudian, bisa dipelajari.

Apa harapan Pater terkait persoalan ini?

Masyarakat harus menghargai sesama termasuk orang dengan gangguan jiwa. Sakit yang mereka alami jangan jadi penghalangan bagi penghormatan terhadap martabatnya sebagai manusia. Kalau tidak mau menolong, jangan ganggu mereka. Keluarga harus bertanggung jawab terhadap perawatan. Jangan pasung, berilah mereka obat secara rutin.

Secara nasional , pemerintah memiliki aneka program terkait gangguan jiwa atau kesehatan jiwa. Tetapi di daerah, program itu kurang dilaksanakan secara baik. DPRD mesti segera membuat peraturan daerah terkait itu. Sering kali pemerintah tidak membuat program karena keterbatasan dana. Kalau ada peraturan daerah, maka pemerintah akan membuat program dan mengajukan anggaran kepada DPRD.

Pemerintah seperti Puskesmas harus serius melakukan pendataan. Laporkan data itu kepada kementerian kesehatan dan kementerian sosial agar kementerian bisa membuat kebijakan dengan pihak produsen obat.

Hendaknya hierarki tidak hanya memperhatikan umat yang sakit pada umumnya, melainkan juga yang gangguan jiwa. Hierarki Gereja juga banyak berkhotbah tentang orang kecil, miskin, sakit, tertindas, dan lain-lain. Tetapi orang dengan gangguan jiwa belum dihitung sebagai orang kecil, orang miskin, dan sebagainya. Orang dengan gangguan jiwa dihitung di luar lingkaran pastoral Gereja. Janganlah seperti itu.

Yanuari Marwanto

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles