HIDUPKATOLIK.com – Sesekali, menarik membicarakan soal olahraga yang berkaitan dengan masalah kebangsaan dan keagamaan. Apa yang bisa kita bicarakan tentang Asian Games dalam kaitan dengan bangsa dan agama? Menurut saya, ajang kompetisi olahraga, seperti Asian Games adalah contoh bagaimana kompetisi yang kita lakukan sebagai bangsa, berhadapan dengan bangsa lain.
Raihan medali menunjukkan seberapa persiapan yang dilakukan masing-masing negara, bagaimana manajemen dilakukan terhadap bidang olahraga ini, yang nanti erat berkait dengan masalah ekonomi dan politik dari negara masing-masing. Jangan pernah lupa bahwa Indonesia adalah negara keempat terbesar wilayahnya di dunia. Di kawasan Asia, Indonesia hanya kalah dengan Tiongkok dan India dari sisi luas wilayah negara.
Sudah dapat diduga, Indonesia berjaya di cabang “tradisional” yang memang sudah lama memiliki kekuatan besar, yakni bulutangkis. Ini menunjukkan bahwa bulutangkis masih memiliki manajemen yang terbaik dalam bidang olahraga di tanah air. Namun, bagaimana dengan cabang lain yang dianggap bisa menyumbangkan emas, seperti angkat besi, wushu, balap sepeda? Apa yang dapat kita katakan atas kondisi ini?
Angkat besi dan wushu dalam beberapa kompetisi internasional sering mengejutkan, karena sejak awal sempat dilihat sebelah mata, namun ternyata cabang ini dapat memberikan prestasi yang membanggakan. Tapi, bagaimana manajemen cabang olahraga ini? Sungguh mengenaskan!
Jika mendengar pelbagai cerita tentang fasilitas yang kurang, dukungan dana dan lain-lain, kita akan mengurut dada bahwa cabang olahraga yang potensial justru disia-siakan, atau dilihat dengan sebelah mata. Sponsor mungkin melimpah untuk cabang populer seperti bulutangkis, sepakbola, basket, tetapi yang jelas-jelas menorehkan prestasi, sering tak dilirik.
Pemerintah Indonesia tentu harus bersikap lebih adil dan memberikan perhatian kepada cabang olahraga yang juga pada masa depan bisa menuang prestasi. Bagaimana bisa berprestasi jika mencari fasilitas olahraga saja masih sulit? Lahan kosong akan mudah beralih fungsi jadi pusat perbelanjaan daripada memberi ruang untuk kehadiran sarana olahraga bagi warga.
Melalui olahraga nama bangsa akan diharumkan, dan menjadi harum ketika perhatian diberikan tak semata kepada anak yang memang sudah mandiri dan bisa jalan sendiri. Perhatian juga harus diberikan kepada mereka yang juga mempunyai potensi untuk berkembang.
Gereja kita pun kerap bertindak demikian. Para pastor di paroki-paroki pun kadang lebih senang berkumpul dengan umat kelas menengah atas yang kerap menggelar acara di rumah yang mewah dan hotel berbintang. Sementara, umat dari kalangan menengah ke bawah sangat sulit mencari pastor untuk pemberkatan rumah, Sakramen Perminyakan, atau sekadar kunjungan saja. Orang muda Katolik di banyak paroki masih dianggap tak lebih dari tukang suruh para anggota dewan, ataupun pastor paroki, tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk didengar dan diberi kesempatan berkarya.
Gereja yang mendengar agaknya perlu terus-menerus digaungkan, karena ternyata banyak pejabat Gereja lebih ingin didengar daripada mendengar. Dengan kondisi ini, maka amat disayangkan potensi besar yang dimiliki orang muda, kelompok yang marginal, tak pernah diberi perhatian yang memadai. Gereja baru akan memperhatikan jika orang muda yang berkarya lewat cara sendiri menghasilkan prestasi. Buru-buru Gereja menjemput dan memberi sambutan, seolah telah ikut terlibat membina orang muda ini.
Gereja Katolik harus semakin peka melihat potensi pengembangan Gereja pada masa mendatang. Gereja bukan hanya untuk kepentingan kelompok menengah atas saja, tetapi juga untuk sebagian umat lain yang kurang beruntung dan butuh perhatian. Dengan perhatian yang proporsional kepada seluruh umat, Gereja telah menunjukkan keadilan dan juga sikap yang ingin mendengarkan umat..
Ignatius Haryanto