HIDUPKATOLIK.COM – Nilai-Nilai Tobat – bagian kelima (akhir)
Artikel sebelumnya:
- https://www.hidupkatolik.com/2018/03/13/18742/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-i/
- https://www.hidupkatolik.com/2018/03/14/18786/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-ii/
- https://www.hidupkatolik.com/2018/03/15/18817/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-iii/
- https://www.hidupkatolik.com/2018/03/16/18821/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-iv/
- Membaharui Diri
Praktisnya, dasar-dasar tobat kita di atas mendatangkan nilai-nilai bagi diri kita sendiri. Apa artinya nilai sebuah tobat bagi kita? Pertobatan yang dirayakan Gereja bahkan dalam setiap perayaan biasanya tidak pernah luput mengundang umat Allah untuk menyadari kesalahan-kesalahannya.
Persatuan dengan Allah, menempatkan Allah di hadapan kita dalam Ekaristi, misalnya, pertama-tama ialah persatuan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan. Kita sadar, kerendahan hati dan budi adalah pangkal kebijaksanaan, demikian kata Amsal. Harta terbesar dalam Kristianitas justru tersimpan di dalam bejana tanah liat, demikian kata Rasul Paulus.
Siapa menyangka bahwa menguduskan diri berarti sekaligus membahurui diri? Ya, pertobatan yang rutin, dari hal-hal yang biasa, cara berbicara dengan orang lain, memikirkan orang lain, berperilaku dengan sesama dibutuhkan mesin cuci Ilahi.
Seperti kamar kita yang tidak pernah bebas debu sekalipun tertutup rapi, dosa selalu lebih jenius menyusup masuk. Untuk itu, pertobatan berkala adalah kriteria kekudusan diri, kemurnian hati dan kejernihan jiwa.
2. Bersekutu dan Bersaudara
Nilai-nilai pertobatan mendatangkan persekutuan dan persaudaraan yang paling sejati. Maka Yesus mengajarkan hal yang paling indah kepada para murid-Nya, “Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkanlah ia juga mengambil bajumu” (6:29); dan Perumpamaan tentang Anak Yang Hilang, gambaran betapa tobat menghasilkan panggilan kepada persekutuan dan persaudaraan.
Allah di depan pintu gerbang, menanti kita untuk pulang. Ia dengan tangan terbuka bahkan sekalipun dalam badai hujan dan petir. Di halaman rumah Allah, tenda tersedia dan pesta selalu siap dibuka setiap saat. Suatu usaha tobat yang segera selalu berakhir dengan pesta meriah. Benarlah adanya, doa-doa Kristiani kita sejak dahulu kala menyebut Allah sebagai pintu gerbang keselamatan.
Karena itu, pertobatan tak terkira nilainya bagi mereka yang merasakannya justru di dalam rintangan sekalipun, hati yang tak mudah memaafkan, pikiran yang tidak mampu menyerap kenyataan, tetapi di sanalah sebenarnya buah dari suatu perayaan akbar kebahagiaan hidup manusia. Lebih jauh dari pada itu, tobat sekali lagi adalah rahasia intimitas pribadi kita dengan Allah sebab Allah mahatahu.
3. Kegembiraan dan Kebahagiaan
Nilai-nilai pertobatan yang terakhir ialah kegembiraan dan kebahagiaan. Bukan tidak mungkin, seseorang yang bertobat mengalami sukacita yang luar biasa. Dalam pengalaman saya, Sakramen Tobat yang saya jalani berakhir seakan-akan ada mukjizat Tuhan bagi diri saya.
Tuhan mengerjakan tanda kerajaan-Nya justru bukan dalam keadaan berhasil namun dalam nada hidup yang minor dan beku, di mana bias-bias manusiawi tak pernah tuntas terselesaikan di dalam sanubari.
Nyatanya, setiap orang merasakan betapa pentingnya pertobatan agar berbahagia dan bergembira. Sebelum ada kata tobat mudah saja untuk menyikut hal-hal yang sepele, semua hal bisa terjadi karena tersulut emosi seketika.
Amarah cepat meledak dan tidak pernah reda-berhenti, jalan tak ada ujung, kegelapan dan kekelaman mengkonstruksi pikiran menjadi rumah iblis yang beranak pinak hingga berkeluarga besar, bahkan hingga reuni.
Usai tobat, tak ada kebahagiaan dan kegembiraan manusiawi lain di dunia. Sempurna adanya! Itulah yang khas dari Sakramen Tobat, rekonsiliasi antara Allah dan manusia, antara manusia dengan sesamanya.
Gereja memelihara dengan apik tradisi ini bertahun-tahun sebab Gereja sadar, yang berziarah ini juga manusia, yang in potentia (potensial) kudus sama seperti para kudus lainnya atau kudus sama seperti Allah yang adalah kudus (1Ptr. 1:15).
Penutup
Pendidikan tobat dalam Gereja Katolik selalu relevan ketika menyelidiki secara cermat kisah-kisah dalam injil-injil terutama Injil Lukas. Di lain pihak, Injil Lukas lebih maju membahasakan pertobatan dalam pewartaannya. Kitab Lukas seluruhnya dipenuhi dengan gambaran belas kasihan dan kemurahan hati Allah.
Lukas tentu berbeda dengan penulis Injil Sinoptik lainnya ketika berbicara tentang Yesus dan seluruh karya-Nya semasa di dunia ini. Karena itu, bukan sekedar spekulasi Lukas atau optimismenya ketika mengisahkan Allah Yesus Kristus yang menjelma menjadi manusia dengan seluruh kasih-Nya.
Keistimewaan Yesus tentu dijadikan vitalitas injili. Inilah yang kita pelajari bahwa Lukas bukan saja mengetahui Yesus melainkan mengenal Yesus secara pribadi, yang tetap kontekstual, aktual dan kekal.
Dan pengajaran tobat dalam Lukas dari Yesus tentu membantu kita menjalani masa Prapaskah ini, selebihnya adalah bagaimana kita beriman secara benar dan cerdas dalam seluruh bingkai hidup kita setiap hari.
SUMBER BACAAN:
Alkitab, LBI, Jakarta, 2014
Barclay M. Newman Jr, Kamus Yunani – Indonesia Untuk Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
F. Walker, Konkordansi Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014
Herman Hendrickx, Satu Yesus Empat Injil, Jakarta: Obor, 2016
Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 24 November 2013
William Barclay, Injil Lukas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015
Fr. Deodatus D Parera (Penulis adalah calon imam Keuskupan Agung Kupang-Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui, Tingkat VI)