HIDUPKATOLIK.com – Anggapan bahwa Imlek berarti pesta dan makan, sepenuhnya salah. Tradisi pantang dan puasa Gereja tak bisa dikalahkan demi pemahaman keliru dari tradisi Imlek.
Keterbukaan Gereja terhadap budaya lokal merupakan perwujudan nyata dari sifat katolisitas Gereja. Dalam semangat Konsili Vatikan II, Gereja melihat bahwa kekayaan budaya Timur bila dipakai dengan tepat, dapat membantu evangelisasi. Maka, proses inkulturasi mendapat perhatian utama dalam pastoral Gereja. Atribut Katolik yang dikenakan pada Gereja menunjukkan sifat universalitas Gereja, yang memiliki semangat keterbukaan, yang menghargai budaya-budaya yang ada.
Tahun Baru Imlek atau disebut Perayaan Musim Semi (chun jie) adalah perayaan penting bagi orang Tionghua dalam penanggalan Tionghua (Yin Li). Kata “Yin li” yang berasal dari dialek Hokkian, di Indonesia lalu disebut Imlek. Perayaan ini secara tradisional berlangsung dari malam sebelum perayaan tahun baru hari pertama, sampai dengan Perayaan Lampion (Cap Go Meh) pada hari kelima belas, di mana pada hari itu, bulan terlihat bulat sempurna.
Sukacita, Syukur
Kalender Imlek adalah kalender lunisolar, yang disusun berdasarkan pergerakan bulan dan matahari. Karena itu, setiap tanggal satu atau awal bulan, selalu dimulai dengan bulan baru. Setiap tanggal 15, bulan dapat terlihat bulat sempurna dari bumi. Kalender ini biasa dipakai untuk memperkirakan musim.
Karena itu, setiap bulan pertama dalam tahun menandai masuknya musim semi, di mana udara sudah mulai lebih hangat, dan seluruh makhluk hidup memulai seluruh aktivitas kehidupan mereka. Dalam sukacita seperti itulah, manusia yang beriman mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Pada hari pertama imlek, mereka pergi ke klenteng untuk berdoa mengucap syukur dan sekaligus juga memohon berkat untuk menjalani seluruh tahun yang baru itu.
Tidak ketinggalan orang-orang Tionghua Katolik, Gereja yang menangkap kerinduan dan religiositas umatnya, membuka diri dengan merayakan Misa. Sejatinya, perayaan Imlek yang dalam bahasa Mandarin disebut “chun jie”, adalah perayaan hari pertama musim semi. Jelas sekali Tahun Baru Imlek bukanlah perayaan agama atau iman.
Gagal Fokus
Tahun Baru Imlek yang di Indonesia sebagai hari libur nasional, memberi kesempatan untuk pergi ke tempat-tempat ibadah, termasuk umat Katolik. Banyak paroki menanggapi perayaan tradisional Imlek dengan merayakan Misa yang diberi embel-embel Imlek. Terlihat umat begitu antusias mempersiapkan perayaan Misa Imlek dengan segala macam atribut yang memberi warna oriental pada seluruh Gereja, baik dekorasi maupun pakaian. Singkatnya, seluruh suasana terlihat sangat didominasi oleh atmosfir perayaan Imlek.
Perlu diakui, bahwa kadangkala seluruh dekorasi perayaan Misa Imlek menjadi berlebihan, sampai-sampai mengubah seluruh suasana gereja. Simbol-simbol iman sering “disaingi”, bahkan ditutupi oleh hiasan-hiasan Imlek yang meriah. Tidak ketinggalan banyak imam selebran ikut-ikutan latah memakai topi yang berkuncir (catatan: Uskup saja melepaskan pileolus atau zucchetto sewaktu mendoakan Doa Syukur Agung). Singkatnya, seluruh gereja dan perayaan Ekaristi berubah menjadi sangat bersuasana oriental.
Ada bahaya bahwa perayaan Ekaristi yang seharusnya menjadi inti dari seluruh ungkapan syukur berubah menjadi pelengkap dari perayaan Imlek itu sendiri. Akibatnya perayaan Ekaristi hanya menjadi sarana bagi perayaan Imlek. Di sini terjadi gagal fokus.
Perayaan Ekaristi seharusnya menjadi tujuan utama, suatu kesempatan istimewa umat yang merayakan Imlek menghaturkan sembah syukur, sekaligus diperkenankan menyambut Tubuh Tuhan pada hari pertama tahun yang baru. Dengan demikian perayaan Ekaristi menjadi berkat dari Tuhan bagi umat untuk mengawali seluruh rencana, aktivitas, dan hidup umat sepanjang tahun baru Imlek.
Spiritualitas Prapaskah
Uniknya, penanggalan lunisolar Imlek ini adalah hari dan tanggalnya berubah-ubah setiap tahun. Berbeda dengan penanggalan solar, seperti penanggalan Hijriahyang maju setiap tahun, penanggalan Imlek jatuh antara 21 Januari dan 20 Februari. Karena itu, bila dihubungkan dengan kalender Gereja, bisa saja terjadi Tahun Baru Imlek jatuh pada Masa Prapaskah, misal pada 2018 ini, Rabu Abu 14 Februari, sementara Imlek pada Jumat, 16 Februari.
Jatuhnya Tahun Baru Imlek pada masa Prapaskah dapat membuat umat sedikit bingung soal penghayatan masa Prapaskah dan sukacita Imlek. Ada yang berpendapat, bahwa dengan menjadi Katolik, maka seluruh adat kebiasaan (termasuk Imlek) harus ditinggalkan, sementara ada yang merasa, bahwa Gereja senantiasa terbuka dengan sikap inkulturasi.
Beberapa stereotype keliru tentang perayaan Tahun Baru Imlek: pertama, Imlek identik dengan pesta dan makan-makan. Maka bila Imlek jatuh pada Rabu Abu atau Jumat Masa Prapaskah, bisa dimintakan dispensasi dari pantang dan puasa.
Dalam praktiknya, cukup banyak penganut Buddha dan Kong Hu Cu justru melihat Imlek sebagai kesempatan pembersihan diri. Maka, mulai pada hari Imlek, atau hari ketiga, mereka berpantang daging, ada yang sampai hari kesembilan, bahkan hari ke-15. Meskipun ajakan vegetarian bukan aturan dan bukan ajaran resmi, tidak sedikit orang Tionghua menjalankannya.
Konotasi Imlek sama dengan pesta dan makan sama sekali tidak tepat. Pesta dan makan biasanya dilakukan pada makan malam sebelum Imlek, sebagai wujud kesatuan dan persaudaraan keluarga. Jadi, bukan makan minum sepanjang hari. Tidak tepat bila tradisi pantang dan puasa Gereja dikalahkan demi pemahaman keliru dari tradisi Imlek.
Sikap inkulturasi adalah salah satu wujud penghargaan terhadap budaya lokal, tetapi tidak berarti Gereja kehilangan jati dirinya lewat inkulturasi. Pantang dan puasa adalah cara Gereja menghayati masa Prapaskah yang mempunyai arti tobat dan penyerahan diri kepada Allah. Maka, pantang dan puasa dapat menjadi kesempatan mengajak orang Tionghua memasuki Tahun Baru Imlek dengan hati yang bersih, dan penuh penyerahan kepada Bapa.
Kedua, karena merayakan Misa Imlek, maka dekorasi di dalam gereja dibuat semeriah mungkin, sesuai dengan warna Imlek. Dekorasi ini didominasi warna merah dan simbol-simbol Imlek. Namun sebenarnya, dekorasi di dalam gereja dimaksudkan untuk memberi penekanan pada aspek tertentu dari misteri yang dirayakan. Maka, dekorasi tidak boleh dibuat sedemikian meriahnya, sampai mengaburkan inti dari misteri yang dirayakan.
Pada masa Prapaskah penggunaan bungapun dibatasi. Dominasi warna ungu bertujuan untuk menunjukkan aspek tobat. Ini hendaknya dihormati. Warna merah nan meriah hendaknya dihindari karena merusak atmosfir perayaan. Masa Prapaskah Gereja dan tahun baru Imlek bukan dua hal yang perlu dipertentangkan.
Saran Pastoral
Bila pada tahun baru Imlek ada kebiasaan orang Tionghua pergi ke klenteng untuk bersembahyang, Gereja Katolik juga membuka pintu bagi setiap umat Tionghua Katolik, untuk merayakan Imlek dalam perayaan Ekaristi. Tidak perlu ada perayaan Ekaristi khusus Imlek dengan gaya dan dekorasi yang meriah. Bacaan-bacaan Ekaristi pun tidak perlu dicari-cari lagi, cukup memakai yang sudah disediakan oleh Gereja dalam penanggalan liturgi.
Waktu yang paling tepat untuk merayakan “Misa dengan intensi Imlek” adalah pada hari H, karena hari itu adalah hari pertama dalam tahun. Kadang kala dengan alasan yang kurang tepat, panitia mencari hari-hari lain, yang justru mengaburkan tujuan dari perayaan. Bagi mayoritas Suku Hokkian, yang mempunyai tradisi sembahyang Tuhan Allah pada hari kesembilan Imlek, dapat juga Ekaristi dirayakan pada hari ini.
Sementara, dekorasi Imlek sebaiknya tidak memenuhi panti imam dan altar, melainkan cukup di samping dan belakang gereja, atau bahkan cukup hanya di halaman gereja. Jangan sampai dekorasi yang berlebihan membuat orang kehilangan orientasi terhadap misteri Kristus yang dirayakan.
Merayakan Ekaristi dan memasuki tahun baru perlu disertai dengan sikap rohani yang tepat. Tahun baru yang dirayakan hendaknya dijauhkan dari pesta pora yang membuat orang kehilangan dan melupakan makna tradisi Imlek, yang sebenarnya sudah indah. Nilai-nilai keluarga, persaudaraan, perdamaian, dan hidup baru adalah inti dari perayaan Imlek. Nilai-nilai ini disempurnakan oleh spiritualitas masa Prapaskah, di mana semua umat menjadi satu keluarga umat Allah, yang sudah disatukan oleh Yesus Kristus sebagai sesama saudara, dan diperdamaikan dengan Bapa di surga.
Agustinus Lie CDD, Dosen Liturgi STFT Widya Sasana Malang