HIDUPKATOLIK.com – Selain pesan di atas, Sinode menghasilkan sebuah Dokumen Akhir, Relatio Synodi. Isi pokoknya antara lain:
Pertama, Sinode mendengarkan kenyataan keluarga zaman ini dalam kompleksitasnya, terang dan gelapnya. Dalam konteks sosial-budaya digarisbawahi kebebasan berekspresi, makin diakuinya hak-hak perempuan dan anak. Diamati juga adanya bahaya indivudualisme yang mengancam relasi keluarga. Kesepian- akibat dari tidak dikenalnya Allah dan kelemahan berelasi – merupakan sebuah kemiskinan dalam budaya saat ini. Kerja yang tidak tetap menyurutkan keberanian kaum muda untuk menikah. Sementara itu, pernikahan beda agama dan gereja menimbulkan kesulitan hukum, baptisan anak, pendidikan anak, dan sikap penghargaan dalam iman yang berbeda. Dalam berpastoral, Gereja perlu memperhatikan pribadi-pribadi, memberanikan hasrat mencari Allah, dan mengajak keluarga-keluarga menjadi bagian dari Gereja, juga mereka yang mengalami kegagalan dalam hidup berkeluarga. Pastoral dijalankan dalam dinamika belas-kasih dan kebenaran.
Kedua, Sinode memandang Kristus dan menemukan Injil Keluarga, sukacita keluarga. Agar dapat melangkah dengan jelas dalam menghadapi tantangan zaman ini, perlulah menjaga agar Gereja tetap memandang Yesus Kristus yang memperhatikan orang dengan belas kasih dan kebeneran. Ia menekankan kesatuan tak terceraikan antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah rahmat dalam perkawinan. Kristus menyampaikan pengajaran Ilahi tentang keselamatan. Dengan penebusan-Nya, Ia membawa perkawinan dan keluarga pada bentuk asali. Ia menyucikan kasih pasangan dan menyatakan tidak terceraikan dengan menawarkan rahmat untuk menjalaninya secara setia dan terbuka pada hidup. Keluarga yang setia membawa sukacita bagi Gereja. Sejalan dengan tatapan belas-kasih Kristus, Gereja terus mendampingi putra-putrinya yang terluka dan hilang.
Ketiga, Sinode berjumpa dengan realitas keluarga-keluarga. Dalam berbagai konteks, Gereja mewartakan Injil keluarga. Para Bapa Sinode menegaskan bahwa keluarga-keluarga yang didasarkan pada Sakramen Perkawinan terpanggil menjadi subjek aktif pastoral keluarga. Seluruh pastoral keluarga mengambil bentuk dan model Sabda sebagai Kabar Baik, kriteria, dan terang saat melangkah dalam konteks budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Untuk menopang pastoral itu Gereja mempersiapkan dengan baik calon pasangan yang akan menikah. Juga setelah menikah, Gereja perlu mendampingi pasangan muda.
Sementara itu, Gereja mendampingi mereka yang hidup di luar pernikahan sambil menuntun mereka pada sukacita perkawinan menuju pada kepenuhan perkawinan. Di hadapan keluarga yang terluka oleh perpisahan dan perceraian, Gereja menyertai mereka dengan menyadari bahwa banyak di antara mereka adalah korban, termasuk korban karena ditinggalkan pasangan. Pribadi-pribadi yang bercerai dan tidak menikah lagi seringkali terus memberi kesaksian hidup kristen, mereka didorong untuk menemukan santapan rohani dalam Ekaristi. Mendampingi orang-orang yang bercerai dan menikah lagi bukan merupakan kelemahan iman, melainkan menunjukkan kasih Gereja.
Ditelaah dengan sangat hati-hati tentang kemungkinan menerima sakramen Tobat dan Ekaristi bagi mereka yang bercerai dan kemudia menikah lagi. Sebagian Bapa Sinode lebih menekankan prinsip jalinan erat antara partisipasi Ekaristi dan kesatuan dengan Gereja serta ajaran tidak terceraikanya perkawinan. Sebagian Bapa Sinode menekankan kemungkinan untuk berpartisipasi pada meja Ekaristi dengan hati-hati, tanpa menggeneralisasi. Keterbukaan ini didahului dengan sebuah perjalanan tobat di bawah tanggung jawab uskup diosesan.
Yohanes Risdiyanto MSF