web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menjaga Cinta, Merawat Setia

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sesama aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini merayakan emas pernikahan. Mereka berharap bisa mengedukasi generasi muda.

Nuansa budaya Sumatera Utara mendominasi Grand Ballroom Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Minggu, awal Januari lalu. Tarian dan alunan musik khas tanah Batak menghibur setiap tamu undangan perayaan pesta emas (50 tahun) pernikahan Cosmas Batubara dan RA Cypriana Pudyati Hadiwidjana.

Salah satu lagu, “Na Sonang Do Hita Nadua” ‘Senangnya Kita Berdua’ menggema di ruang itu. Tembang yang diciptakan Nahum Situmorang ini sangat tepat menggambarkan pasangan yang telah dikaruniai empat anak dan enam cucu. Na sonang do hita na dua/ Saleleng ahu rap dohot ho/ Nang ro dina sari matua/ Sai tong ingotonku do ho/ Hupeop sude denggani basam/ Huboto do tu ahu do roham/ Nang ro dina sari matua/ Sai tong ingotonku do ho. Lagu ini bermakna, ‘Senangnya kita berdua, selama aku bersamamu, bila tiba masa tua nanti, akan selalu kuingat dirimu, kuingat semua tutur kata manismu, kutahu hanya aku di dalam hatimu, bila tiba masa tua nanti, akan selalu kuingat dirimu’.

Bagi Cosmas dan Pudy, acara tersebut bukan sekadar perayaan. Ada nilai edukasi yang ingin mereka tunjukkan terutama kepada generasi keluarga muda saat ini. “Kami bukan yang paling hebat. Kami bisa bertahan hingga 50 tahun, semoga banyak juga orang muda mengikuti (kami). Memang tidak semua (pasangan) berhasil. Tetapi keinginan atau cita-cita itu (bertahan) harus selalu ada,” ujar Cosmas, ketika ditemui di kediamannya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 10/1.

Sesama Aktivis
Ada dua gadis di dalam salah satu ruangan di Margasiswa –rumah sekaligus sekretariat PMKRI– Yogyakarta. Mereka sedang membereskan berkas-berkas organisasi. Sementara di ruangan lain, ada banyak anggota PMKRI berkumpul. Pada awal 1964, ada kegiatan kaderisasi untuk para anggota PMKRI Yogyakarta.

Cosmas, yang kala itu menjadi Ketua Umum PMKRI, hadir juga dalam acara tersebut. Ia berpidato di hadapan para koleganya. Usai berorasi, begitu keluar dari ruang Krida Utama, mata Cosmas tertumbuk kepada salah satu gadis di ruangan sekretariat tadi. Perempuan itu bernama Pudy. “Saya tertarik kepadanya sejak pandangan pertama,” aku pria kelahiran Purbasaribu, Sumatera Utara, 19 September 1938.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Cosmas memberanikan diri ke ruangan tersebut. Ia memperkenalkan diri kepada Pudy. Cosmas berkilah, sebagai tamu yang baik, ia wajib memperkenalkan diri kepada “tuan rumah”. Rupanya, perkenalan itu amat membekas dalam benak dan hati Cosmas. Tak hanya simpatik kepada Pudy, ia bahkan yakin gadis itu adalah jodohnya. Namun, Cosmas membungkus rapat isi hatinya itu.

Berbeda dengan Cosmas, Pudy menganggap tak ada yang istimewa dalam perkenalan itu. Peristiwa itu menurutnya adalah sesuatu yang lumrah. “Saya melihat Bapak (Cosmas) sebagai Ketua PMKRI saja. (Fisik) Bapak saat itu pendek, kecil, dan kurus. Rambutnya juga keriting, (penampilannya juga) biasa-biasa saja,” kenang Pudy, sembari tersenyum.

Meski begitu, Pudy tak pernah memandang fisik atau penampilan orang dalam berelasi, termasuk menentukan calon pendamping hidupnya kelak. Bagi perempuan kelahiran Yogyakarta, 24 September 1943 itu, yang terpenting adalah orang tersebut memiliki visi dan misi yang jelas, fokus, dan gigih dalam menggapai hal tersebut. Tampaknya, ini asa bagi Cosmas merengkuh impiannya itu.

Benih Cinta
Setelah mengenal Pudy, Cosmas mengunjungi Yogyakarta beberapa kali pada tahun tersebut. Pada satu kesempatan, Cosmas berpidato kepada mahasiswa Katolik untuk bergabung dengan PMKRI. Ayah Pudy, R. Suwanda Dionysius Hadiwidjana hadir di sana. Ia terkesan dengan isi dan gaya orasi Cosmas.

Pujian itu sempat ia utarakan di depan anak-istrinya di rumah. Pudy hanya tersenyum mendengar kesaksian sang ayah. Ia pun menyampaikan peristiwa itu kepada Cosmas. Wajar jika Cosmas terkesima. Pria mana yang tak bahagia mendengar pujian dari orang lain, apalagi dari calon mertua. Meski pun pada saat itu, belum terlintas dalam benak Hadiwidjana bahwa aktivis PMKRI yang dipujinya itu, menjadi menantunya kelak.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Pudy memiliki paras menawan. Budi bahasa dan perangainya pun baik. Selain itu, ekonomi keluarganya cukup mapan. Ayahnya adalah guru di HIK Van Lith Muntilan lalu menjadi kepala sekolah di tujuh SMA. Selain itu, sang ayah juga salah satu pendiri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dengan berbagai keunggulan itu, niscaya banyak pemuda yang kepincut dengannya, termasuk para kolega Cosmas di PMKRI.

Mahasiswa Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta itu sadar, bahwa punya banyak rival yang berjuang mengambil hati gadis dambaannya. Dengan kesatria, ia bertanya kepada setiap pemuda yang mendekati Pudy. “Hey, you sungguhan nggak sama Pudyati? Kalau kamu nggak serius, saya mau maju,” tanya Cosmas, mengenang.

Mendengar pertanyaan itu, menurut Cosmas, banyak pesaingnya takut dan mundur dari “pertarungan”. Sehingga, ia bisa maju dan mendekati Pudy dengan tenang. Seiring waktu, Cosmas kerap mampir ke rumah Pudy, saban ke Yogyakarta. Benar kata pepatah Jawa, witing tresno jalaran suko kulino, ‘cinta dapat tumbuh karena terbiasa’. Biasa bertemu itulah yang menumbuhkan benih cinta di antara dua aktivis ini.

Buku Sarinah
Pudy masih ingat betul oleh-oleh yang diberikan Cosmas untuknya. Selain hanya satu satunya tanda mata yang diberikan Cosmas kepadanya selama pacaran, oleh-oleh itu juga tak umum menjadi buah tangan antara sepasang kekasih. Cosmas memberikan Pudy sebuah buku karya Presiden Soekarno berjudul “Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia”.

Buku yang dibawa dari Jakarta itu punya makna khusus bagi Cosmas untuk kekasihnya. Dalam buku “Bersahaja Maka Mulia” yang disuting oleh anak kedua Cosmas-Pudy, Prisca Dewanti Batubara menjelaskan, dengan buku tersebut, Cosmas berharap kekasihnya memahami dia sebagai seorang aktivis dan giat berorganisasi. Kalau Pudy berkenan kepadanya, maka Pudy perlu menyadari itu, akan ada waktu ia ditinggal demi pergerakan sehingga harus bisa mandiri, tidak boleh manja.

Pudy, menurut Cosmas, menyadari konsekuensi itu. Ia akan selalu mendukung dan menerima Cosmas seutuhnya. Pada 1966, untuk pertama kalinya mereka bertukar foto. Cosmas memberikan fotonya berukuran besar. Sementara Pudy memberikan pas fotonya kepada sang kekasih. Di balik foto berkelir hitam-putih itu ia menulis sepenggal kalimat masih dalam ejaan lama, “Untuk Abang Tersajang”. “Usia foto ini sudah lebih dari 50 tahun. Foto ini selalu ada di dompet saya. Ini untuk mengingatkan saya bahwa dia (Pudy) adalah bagian hidup saya,” ujar Cosmas sambil menunjukkan foto sang istri.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Setelah beberapa tahun pacaran, Cosmas mendatangi orangtua Pudy. Ia membuktikan keseriusan cintanya dan berniat menjadikan Pudy sebagai pendamping hidupnya. Begitu mendapat restu, pada 2 Februari 1967 mereka bertunangan di Yogyakarta. Di kota yang sama, sepuluh bulan kemudian, pasangan yang beda budaya ini mengikrarkan janji setia di Gereja St Antonius Kotabaru.

Perayaan Nostalgia
Pada peringatan usia emas pernikahan, Cosmas-Pudy, beserta anak, mantu, dan cucu pergi ke Yogyakarta. Di sana, pasangan sepuh itu membarui janji pernikahan. Uniknya, seluruh perayaan itu berlangsung di tempat dan waktu yang sama, persis seperti 50 tahun yang lalu. Cosmas dan Pudy ingin bernostalgia dengan kisah romansa mereka di Kota Gudeg.

Saling mengerti, memahami, dan mengisi menjadi kunci Cosmas-Pudy menjaga cinta dan merawat setia pernikahan mereka. Mantan Menteri Muda Perumahan Rakyat serta Menteri Tenaga Kerja ini mengakui, selama 50 tahun hidup bersama tak pernah marah kepada sang istri. Sebab, menurutnya, tak ada kata dan perbuatan Pudy yang membuatnya marah. Selain itu, sang istri juga tidak pernah meminta, apalagi menuntut sesuatu yang tidak bisa dibeli atau dipenuhinya.

Meski telah berada pada usia senja, Cosmas-Pudy tetap merawat cinta. Cinta itu telah berbuah dan dirasakan oleh anak, cucu, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya. Rektor Universitas Podomoro itu percaya, bangsa yang kuat salah satunya lahir dari keluarga yang kuat pula. Cita-cita itu harus selalu diperjuangkan.

Yanuari Marwanto

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles