web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menyatukan yang Esensial, Memberi Ruang Ekspresi

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Kesatuan dan keberagaman dalam liturgi bisa saling melengkapi. Kesatuan dalam hal-hal esensial memperlihatkan identitas mendasar.

Keragaman dibutuhkan agar liturgi mengakar dan menyentuh umat. Dibutuhkan pemahaman dan penjelasan tentang bagian-bagian liturgi. Berikut petikan wawancara dengan Ketua Komisi Liturgi KWI, Mgr A.M. Sutrisnaatmaka MSF.

Apa penyebab keanekaragaman sikap liturgi?

Keanekaragaman sikap liturgis disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, keadaan tempat ibadat yang berbeda-beda. Misalnya, di Gereja Katedral atau paroki yang ada tempat berlutut, akan berbeda dengan tempat duduk tanpa tempat berlutut, atau Misa di rumah keluarga yang kadang lesehan juga akan mempengaruhi sikap berliturgi. Kedua, perbedaan budaya dan kebiasaan setempat, misalnya cara menghormat bisa berdiri, berlutut, dan menyembah Ketiga, pemahaman pribadi terhadap makna (bagian) liturgi bisa berbeda-beda penekanannya, sehingga muncul sikap berbeda. Misalnya, Ekaristi bisa dimaknai sebagai perjamuan yang memunculkan sikap gembira dan suasana pesta, tapi juga bisa dimaknai dengan penekanan kepada Korban (Salib) sehingga lebih menekankan suasana asketis dan menuntut kesalehan pengorbanan.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Perlu diketahui, liturgi –khususnya Ekaristi– memiliki beberapa unsur dan bagian-bagian yang berbeda-beda tingkatan makna dan pentingnya. Pertama, bagian inti, hakikat, makna mendasar, dan menjadi pokok yang tak boleh diubah, diganti, dan harus ada, seperti Doa Syukur Agung. Kedua, ada hal-hal yang boleh dimodifikasi, diadaptasi, dan disesuaikan, tapi masih dalam koridor maksud liturgisnya, seperti Kolekta (sementara diterjemahkan Doa Pembuka), Doa Persembahan, Doa Sesudah Komuni, dll. Bagian ini boleh disusun dan disesuaikan dengan maksud atau tujuan bagian tersebut, tetapi kata-katanya bisa disusun sendiri. Ketiga, ada hal-hal tambahan yang tak wajib dan tak harus ada, atau boleh ada, boleh tidak ada, tergantung keperluan dan masanya. Misal, dalam Ekaristi Harian tidak ada Kemuliaan dan Aku Percaya, Doa Umat juga tak perlu selalu ada.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Menurut Monsinyur, apa solusi terkait keanekaragaman sikap liturgi dalam Perayaan Ekaristi?

Perlu memberikan pemahaman dan penjelasan tentang liturgi dan bagian-bagiannya. Lalu, dibutuhkan juga pendidikan liturgi yang menyangkut makna setiap perayaan, tata gerak, tata ruang, dll, agar umat mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh dan menghayatinya.

Kemudian perlu juga membuat katekese, pendidikan berkelanjutan dan menyeluruh agar pemahaman menjadi utuh dan tidak sepotong-sepotong. Dengan demikian, umat tidak bingung, bisa mengerti mana yang memang seharusnya seragam dan mana yang memang boleh ada pelbagai macam ungkapan dan tatagerak.

Terkait sikap liturgi mana yang mendesak, kesatuan dalam keberagaman, atau keseragaman demi kesatuan?

Kesatuan dan keberagaman bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua posisi yang saling membutuhkan demi dinamika realitas liturgis. Kesatuan dalam hal-hal mendasar, esensial, dan utama diperlukan agar sebagai umat Katolik, kesatuan bisa memperlihatkan identitas mendasar. Di gereja mana pun, Tata Perayaan Ekaristi sama, dari Pembuka sampai Berkat Penutup.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Selain itu, ada keberagaman yang memungkinkan Perayaan Ekaristi dirayakan dengan bahasa setempat, lagu-lagu, dan iringan alat musik dari kebudayaan tertentu. Keberagaman justru bisa memperkaya kesatuan yang esensial itu.

Contoh lain, konsep menghormat kepada Yang Mahatinggi. Menundukkan kepala menjadi salah satu tatagerak untuk menghormati yang Mahatinggi dan lazim untuk banyak kalangan. Dalam Ekaristi, kehadiran Kristus dalam rupa roti dan anggur merupakan kehadiran yang bersifat substansial, nyata, sungguh-sungguh (ajaran Konsili Trente, 1545-1563). Maka ketika hosti dan anggur diangkat, umat “menyaksikan/melihat dengan mata kepala sendiri” dengan memandang. Ini juga bentuk penghormatan yang tak bertentangan dengan menundukkan kepala. Menghormati tak harus dengan menunduk dan memejamkan mata, tapi menyembah dengan memandang secara khidmat dan mendalam yang menunjukkan kontak dan relasi pribadi yang hidup.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles