HIDUPKATOLIK.com – Ia seorang penjaga gawang yang tangguh. Selain mengajar, ia dipercaya merancang aneka undang-undang. Ia tak mau menggadaikan ilmunya demi kepentingan politik.
Gelombang Reformasi 1998 membawa berkah bagi Benedictus Hestu Cipto Handoyo atau yang akrab disapa Hestu. Nama pengajar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini menjadi tenar, paling tidak di seantero Kota Pelajar Yogyakarta. Ketika mahasiswa sedang mempersiapkan amunisi demonstrasi, Hestu memberikan perspektif hukum. Hampir saban minggu, ia didaulat menjadi pembicara di sebuah radio swasta di Yogyakarta. Ia memberikan cara pandang gerakan perubahan dalam kacamata hukum.
Ulasannya lugas dan tegas. Ia juga berani serta tak segan mengkritik penguasa. Setelah penguasa Orde Baru Soeharto tumbang, gelombang perubahan terjadi. Selain terus mengajar, Hestu didaulat menjadi Dewan Pakar Parlemen Watch Indonesia (Parwi) Yogyakarta. Saat ini, ia dipercaya menjadi Direktur Eksekutif Parwi Yogyakarta.
Menjadi dosen
Menjadi pengajar bukanlah cita-cita Hestu. Sebenarnya, ia ingin menjadi tentara.Tapi, ia tak lulus tes masuk Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri). Ia pun meneruskan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Tak ada aral melintang, selama ia menjalani kuliah. Selain tekun belajar, ia aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa. Bahkan, ia pernah terpilih sebagai wakil ketua senat mahasiswa selama dua periode. “Saya ini orang minder. Saya hanya ingin membuktikan diri kalau saya juga bisa terkenal di kampus. Karena sebelumnya, saya cukup terkenal di kampung halaman saya di Blora. Saya dikenal sebagai penjaga gawang sepakbola yang tangguh,” ucapnya sembari tertawa terbahak.
Ketika kuliah hampir selesai, Hestu dipanggil Dekan Fakultas Hukum, J.B. Daliyo. Hestu mendapat tawaran menjadi pengajar di Universitas Atma Jaya. Ia kaget bukan kepalang. Ia tak memiliki pengalaman mengajar apapun. Namun, tawaran itu kemudian diiyakan. Hestu pun memulai kehidupan sebagai pengajar.
Hestu kian tertarik mendalami ilmu hukum, terutama hukum ketatanegaraan. Ia lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Padjadjaran Bandung. Ia harus pergi pulang, Yogyakarta-Bandung.
Tapi rupanya, Hestu agak kesulitan ketika berhadapan dengan bahasa Inggris. Ini terbukti saat ia harus mengikuti tes toefl. Dua kali ia gagal lulus tes ini. Ia ke mudian mengadukan hal ini kepada Yesus. Ia berdoa di muka patung Yesus yang berada di Gereja St Antonius Kota baru, Yogyakarta. “Terus terang, saya berdoa jelek sekali. Ya Yesus, kalau Engkau sungguh Juru Selamat, saya minta tolong tunjukkan kepadaku mukjizat-Mu, sehingga saya bisa lulus tes toefl,” ucap Hestu mengenang.
Ternyata doanya terkabul. Keesokan hari, ia lulus tes toefl. “Saat itu, saya merasa bersalah kepada Yesus. Setelah tes, saya langsung ke gereja dan memohon maaf kepada Yesus,” imbuhnya.
Tak berpolitik
Hestu memang piawai meracik argumentasi hukum. Beberapa partai politik me mintanya bergabung. Apalagi ketika ia terlibat aktif dalam Parlemen Watch Indonesia (Parwi) Yogyakarta. Namun, semua tawaran itu ia tolak.
“Saya tidak tertarik dunia politik. Saya takut, itu akan mengganggu idealisme saya, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyampaikan ilmu itu kepada masyarakat untuk proses pembelajaran bersama,” tegas Hestu.
Ia juga beralasan tak mau masuk dalam politik, lantaran tak ada satupun partai politik yang memiliki visi cinta kasih. Dunia politik itu adanya hanya kepentingan. Maka, saya menolak masuk politik,” katanya.
Kaderisasi politik
Meski tak mau masuk dunia politik, Hestu pernah mencicipi sedikit aroma politik. Pada 2004, ia bersua dengan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Yogyakarta, Subardi. Sebelumnya, Subardi sudah mengenal Hestu sebagai pelatih penjaga gawang PSS Sleman, Yogyakarta. “Saya diminta memberikan argumentasi akademik dalam sepak terjang dia sebagai anggota DPD. Satu gerakan politik dan hasil jerih payahnya adalah naskah akademik dan yuridik rancangan undang-undang Keistimewaan DI Yogyakarta. Selain itu, juga konsep pemecahan undang-undang otonomi daerah menjadi tiga; UU Pemilihan Kepala Daerah, UU Pemerintah Daerah, serta UU tentang Desa,” papar Hestu.
Sejak itulah, Hestu mulai mencecap dunia politik. Pada 2010, ia diminta Sekreta riat Jenderal DPD RI menjadi staf ahli panitia perancang undang-undang hingga kini.
Hestu memendam prihatin, karena kaderisasi politik dalam Gereja Katolik amat lemah. Jarang orang muda tertarik masuk dalam dunia politik. “Padahal seluruh gerak langkah masyarakat tidak lepas dari politik,” ujarnya. Maka, ia mengajak Gereja untuk melakukan kaderisasi politik.
Benedictus Hestu Cipto Handoyo
TTL: Blora, Jawa Tengah, 3 Juli 1962
Pendidikan:
• S-1 Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (1987)
• S-2 Program Pascasarjana Bidang Kajian Utama Ilmu Hukum Ketatanegaraan Universitas Padjadjaran Bandung (1995)
• LEMHANNAS Jakarta (1998)
• Sedang menempuh studi Program Doktor Ilmu Hukum (S3) di Universitas Parahyangan Bandung
Pekerjaan:
• Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (1998-sekarang)
• Staf ahli Panitia Perancang Undang- Undang (PPUU) DPD RI (2010-2014)
• Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta (2000-sekarang)
• Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2006-2008)
• Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerja Sama Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2008-2011)
• Staf Ahli Anggota DPRD RI (2004-2009)
• Staf Ahli Badan Legislasi Daerah DPRD DIY (2012-2013)
Karya buku:
• Aspek-aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang (1994)
• Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia (1996)
• Kilas Balik Keistimewaan Yogyakarta (Sebuah Tinjauan Yuridis Historis) Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah (1998)
• Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (2003)
• Hukum Tata Negara Indonesia (2009)
Y. Ingrid Kusuma Dewi