web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menyalakan Lilin Dalam Kegelapan

3.7/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Selama 10 tahun, ia berusaha menerima kenyataan dan menyesuaikan diri dengan kegelapan. Kehilangan penglihatan tak menghalanginya untuk aktif giat dalam kegiatan Gereja.

Kristian Robert Trikora menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Toraja, Sulawesi Selatan. Tahun 1981, Robert menyelesaikan pendidikan di STM Pembangunan Makassar, Sulawesi Selatan. Lulus, ia bekerja di bagian administrasi keuangan Bank Nasional Indonesia (BNI) Makassar. Sambil bekerja, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Yayasan Pendidikan Ujung Pandang (YPUP) Makassar (1988-1992).

Robert dipercaya sebagai analis keuangan dan manajer. Ia berusaha untuk melakukan tugas-tugas yang dipercayakan dengan baik. Hingga suatu pagi pada 1994, bangun tidur, ia mendapati sekelilingnya mendadak gelap. Padahal, ia baru saja dipromosikan sebagai Pengelola Rencana Kerja dan Anggaran BNI KW 07 Makassar. Meski kehilangan penglihatan, ia tetap datang ke kantor.

Karena penglihatannya tak kunjung pulih, Robert pergi ke dokter spesialis mata untuk memeriksakan diri. Dokter menyatakan, tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab kebutaan itu. Ia pun lantas memeriksakan diri ke dua dokter spesialis mata yang lain. Namun, hasilnya sama. Para dokter itu angkat tangan!

Dokter ketiga yang ia datangi memberikan rekomendasi agar Robert berobat ke Rumah Sakit Mata Jakarta Eyes Center (JEC). Berbekal harapan ingin sembuh, Robert menjalani pengobatan di Jakarta.

Kehilangan Kata
Usai menjalani pemeriksaan di JEC Jakarta, dokter menyatakan bahwa Robert terkena Behcet Disease Syndrome atau Sindroma Behcet. Penyakit ini merupakan gangguan langka yang menyebabkan peradangan kronis pembuluh darah di seluruh tubuh. Sindroma Behcet bisa terjadi di mulut, kulit, mata, alat kelamin, dsb. Penyebab Sindroma Behcet tidak diketahui pasti, tetapi ada kemungkinan disebabkan oleh gangguan pada autoimun: sistem kekebalan tubuh keliru menyerang sel tubuh yang sehat, faktor genetik, ataupun lingkungan.

“Saya gagap … tidak bisa berkata-kata. Saya hanya duduk terdiam ketika dokter mengatakan penyakit saya ini penyakit langka dan belum diketahui penyebabnya. Waktu itu, saya berpikir: ya sudahlah … berarti ini tidak bisa sembuh! Jujur, saya stres juga,” ungkap sulung dari lima bersaudara ini.

Selama dua tahun, Robert menjalani pemeriksaan dan pengobatan di JEC Jakarta. Karena alasan kesehatannya, lembaga tempat ia bekerja memindah-tugaskan Robert ke kantor di Jakarta. Sementara istrinya tetap tinggal di Makassar, karena terikat pekerjaan. Namun, pada 1996 istri dan anaknya hijrah ke Jakarta.

Medio 1996, Robert menjalani operasi mata kanan. Setahun berselang, mata kanannya kembali dioperasi karena mengalami ablatio retina atau retina sobek. Itupun belum cukup, operasi mata kanan mesti ia jalani lagi untuk ketiga kalinya. Sedangkan mata kirinya dioperasi satu kali. Namun lambat laun, Robert mengalami penurunan kemampuan penglihatan. Kini sisa penglihatan mata kirinya hanya 20 persen. Area penglihatan menyempit dan ia hanya bisa melihat sebesar cahaya senter. “Sedangkan mata kanan saya buta,” ujar laki-laki yang dikaruniai tiga buah hati ini.

Penerimaan Diri
Robert sangat frustrasi. Ia berkeluh kesah kepada Tuhan. Ia tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. “Sambil menangis, saya protes kepada Tuhan. Mengapa saya harus buta?” ujarnya.

Robert memerlukan waktu cukup lama untuk dapat menerima kebutaan yang ia alami. “Selama 10 tahun, dari 1994 hingga 2004, saya berjuang menyesuaikan diri dengan kegelapan. Saya kembali mengenal diri lagi secara perlahan. Saya juga mengesampingkan rasa malu dan takut untuk keluar berjalan dengan memakai tongkat. Inilah titik awal saya mulai bergerak keluar. Hingga kini, saya pergi ke mana-mana menggunakan tongkat,” kisah laki-laki kelahiran Denpasar, 26 Juli 1961 ini. Pada 2006, ia memutuskan pensiun dini dari kantornya.

Penerimaan Robert atas keadaan dirinya berawal dari pengalaman mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) di Paroki St Bartolomeus (Sanbarto) Taman Galaxy Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). “Waktu itu, ada teman yang mengajak saya ikut KEP. Setelah ikut, hati saya mulai terbuka akan ‘keselamatan oleh Tuhan Yesus. Saya terinspirasi oleh Sabda Yesus: Mari ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”

Iman saya mulai tumbuh. “Saya kemudian mencari berbagai pemahaman tentang iman Katolik. Dulu saya ikut kegiatan di berbagai kelompok doa karena berharap bisa melek (melihat- Red) …,” katanya. Robert pun akhirnya berserah kepada Tuhan dan berusaha menerima keadaannya. Dukungan istri dan anak-anaknya menguatkan Robert.

“Sekarang, mata saya ada di tongkat, telinga, dan feeling saya …. Ke mana-mana saya menggunakan tongkat. Banyak orang yang baik di jalan. Mereka dikirim Tuhan untuk menolong saya,” demikian Robert merefleksikan jalan hidupnya.

Semangat untuk berkegiatan pun bergelora di hati. Selain mengikuti KEP, Robert juga belajar selama tiga tahun di Kursus Pendidikan Kitab Suci (KPKS) St Paulus – Lembaga Biblika Indonesia (LBI) Jakarta. Sejak 2009 hingga sekarang, ia mengikuti Extention Course Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Sementara satu tahun terakhir ini, ia mencicipi Extention Course Filsafat di STF Driyarkara.

Tanpa ragu, Robert juga ambil bagian dalam Tim Kerasulan Kitab Suci Paroki Sanbarto Bekasi sejak 2009. Ia rutin menulis renungan di Media Informasi Ming guan St Bartolomeus (Mimbar). Meski kehilangan penglihatan, ia ingin tetap bisa memberikan diri untuk Gereja dan orang-orang di sekitarnya.

Semangatnya untuk menjadi pewartapun terus membara. Pada Januari 2015, Robert mengikuti Sekolah Pewarta Mimbar di Shekinah Jakarta Pusat setiap Selasa dan Jumat. Ia merekam apa yang diajarkan dengan menggunakan alat perekam. Rekaman itu ia dengarkan di rumah. Bahan kursus diperbesar lima kali dan dibaca menggunakan bantuan kaca pembesar. ”Untuk mengerjakan tugas, saya menggunakan komputer bicara dengan program JAWS,” ungkap suami Lusia Ruruk ini.

Selain itu, Robert ikut berkecimpung dalam kegiatan Laetitia, Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ sejak 2010. Ia juga ikut latihan kor Laetitia seminggu sekali dan mengikuti pertemuan pijat tuna netra se-Jabodetabek sebulan sekali. Saat latihan koor, ia menggunakan kaca pembesar untuk membaca teks lagu. Sementara teman-temannya di Laetitia menghafal lirik lagu dengan jari tangan karena teks menggunakan huruf Braille.

“Karena teks lagu tanpa not, saya merekam saat latihan dan memutar ulang rekaman ketika di rumah,” tutur pemilik suara bas ini. Dengan keterbatasannya, ia merasa bahagia bisa mengikuti kegiatan di Laetitia. Ia bersyukur bisa berbagi dengan sesama difabel dan melayani sesama dengan sukacita.

Robert berusaha untuk terus bersyukur atas semua yang ia alami. “Apa pun keadaan manusia, semuanya berharga di mata Tuhan. Saya bersyukur atas anugerah kehidupan ini. Dalam keterbatasan penglihatan, saya tetap menyalakan harapan agar dapat memberi ‘sesuatu’ yang bermanfaat bagi sesama,” demikian Robert.

Maria Pertiwi/Ivonne Suryanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles