HIDUPKATOLIK.com – Filsuf besar Kristiani, St Bonaventura menekankan bahwa kerendahhatian adalah akar dan penjaga dari segala kebaikan. Selain itu, tidak ada cara yang lebih tepat dalam mengikuti Kristus, selain menjadi miskin dan rendah seperti Dia, kata St Fransiskus dari Asisi, hlm 89-99.
Sifat Allah: rendah hati
Kerendahhatian merupakan pembuka nilai-nilai tertinggi, yang mulia, yang berasal dari Allah, sekaligus menunjukkan kerendahhatian sebagai bagian sifat utamaAllah sendiri. Rendah hati merupakan sifat Allah yang pertama dan utama. Kebalikan dari kerendahhatian adalah kesombongan. Kesombongan menempati posisi tertinggi dari tujuh dosa pokok. Dengan tegas, teolog Kristiani St Agustinus menekankan kerendahhatian adalah sifat utama Allah, hlm 2.
Kerendahhatian merupakan keutamaan Ilahi yang membuka jalan bagi manusia untuk menemukan panggilan, makna hidup, jati diri, identitas dan kebahagiannya. Bahkan, kerendahhatian merupakan konsekuensi awal yang mutlak dibutuhkan manusia untuk berelasi dengan Allah. Syarat utama perjumpaan dengan Allah, atau dalam pemikiran Emmanuel Levinas filsuf Yahudi dikenal dengan “Yang Tak Terhingga” adalah kerendahhatian yang membuka benteng ego. Kerendahhatian adalah prasyarat keluar dari kepentingan diri supaya dapat menjumpai “Yang Tak Terhingga” dalam setiap perjumpaan dengan orang lain, hlm 104-108.
Aneka keprihatinan mengemuka belakangan ini misalnya kehancuran alam, kesenjangan ekonomi, tingkat bunuh diri yang tinggi, maraknya narkoba, meningkatnya masalah kejiwaan seperti depresi, anomie (tanpa makna), alienasi (tersingkir, kesepian) merupakan akar persoalan yang perlu dianalisis secara lebih mendalam, hlm 114.
Bagi Erich Fromm (1900-1980), psikolog sosial Jerman yang mengupas latar belakang sifat destruktif manusia berkaitan dengan perkembangan kepribadian Hitler. Hitler yang berperan sangat besar di balik perang dunia II dan memusnakan puluhan juta keturunan Yahudi yang tak berdosa. Melalui penelitian, Fromm menggambarkan karakter puncak Hitler sebagai sombong, sangat kurang rendah hati, dan terlalu besar ambisi. Ingin menang walau tidak sesuai dengan realita. Namun, tragisnya, akhir hidup Hitler dengan bunuh diri, hlm 115,117.
Menemukan jati diri
Buku yang berjudul (Mungkinkah) Bumi tanpa Humus?: sebuah refleksi atas relevansi nilai kerendahhatian di masa kini. Dr Hendro Setiawan telah menghasilkan 3 buku berkualitas-ilmiah dengan pendekatan filosofi-antropologis, teologi, psikologi dan religius. Buku pertama berjudul Manusia Utuh, dan buku kedua berjudul Awam, Mau Ke Mana. Buku ketiga karya Hendro Setiawan ini menggarap 8 bab selain pendahuluan dan kata pengantar dari Uskup Agung Palembag, Mgr Aloysius Sudarso, SCJ.
Mgr Aloysius Sudarso, SCJ dalam kata pengantar buku ini menulis, Dr Hendro mengajak pembaca untuk memikirkan kembali nilai-nilai kerendahhatian dan relevansinya bagi zaman ini. Semoga buku ini sebagai bahan refleksi sekaligus mengundang pembaca untuk menemukan jati dirinya. Pada akhirnya nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih, pengorbanan, kemampuan menghargai perbedaan, cinta akan alam semesta dapat bertumbuh-subur di tengah hidup bermasyarakat, hlm iii.**
Data Buku:
Judul : (Mungkinkah) Bumi Tanpa Humus?
Penulis : Dr Hendro Setiawan
Penerbit : PT Kanisius – Yogyakarta
Tebal : vi + 170 hlm
Kata Pengantar : Mgr Aloysius Sudarso, SCJ
Ignas Iwan Waning, Palembang