HIDUPKATOLIK.com – Pada saat penerimaan komuni, apakah umat harus mengembalikan hosti kudus jika menerima lebih dari satu? Ketika tidak mengembalikan, saya sering merasa bersalah karena tidak jujur. Bagaimana yang seharusnya dilakukan?
Lina Moningka, Surabaya
Pertama, perlu diketahui lebih dahulu Ajaran Gereja bahwa Yesus Kristus hadir secara utuh dalam setiap rupa hosti suci. Kehadiran Kristus yang utuh itu tidak bertambah, jika hosti yang diterima itu lebih dari satu atau lebih besar. Demikian pula, kehadiran Kristus tak berkurang sedikitpun, jika hosti kecil itu dipecahkan menjadi bagian-bagian lebih kecil. Kehadiran Kristus tak tergantung kepada besar kecil atau banyak sedikit rupa roti, karena dalam setiap bagian dari hosti, Kristus tetap hadir secara utuh dan sama. Kehadiran Kristus serta rahmat yang diberikan, tidak bergantung kepada kuantitas, karena kehadiran Kristus dan kuasa-Nya yang sama bekerja dalam roti yang sekecil apapun. Jadi, kuantitas – besar kecil, sedikit banyak – tidak mengubah intensitas kehadiran Kristus yang sungguh, riil, dan substansial.
Kedua, dengan berpegang Ajaran Gereja tersebut, hal-hal praktis tentang menerima hosti lebih dari satu akan lebih mudah disikapi. Jika hal ini terjadi di Gereja dan petugas pembagi sudah tahu, maka kelebihan hosti boleh dimakan saja semua. Jangan merasa bersalah karena merasa tidak jujur. Pemberian hosti lebih dari satu itu bukan kehendak penerima dan sudah diketahui petugas pembagi komuni. Jika hal ini terjadi dalam Misa di lingkungan, di mana jumlah hosti biasa sudah dihitung dan terbatas, maka kelebihan hosti sebaiknya dikembalikan. Jangan sampai ada umat yang menerima secara berlebih, tapi ada umat tidak menerima karena kehabisan hosti. Kadang juga terjadi dalam Misa lingkungan, jumlah hosti terlalu banyak. Jika imam yang memimpin Misa tidak mau membawa pulang dan menyimpan di tabernakel, maka kelebihan hosti itu bisa dibagikan lagi kepada umat. Jelas, jika hal ini terjadi, kelebihan hosti tak perlu dikembalikan, karena memang bermaksud menghabiskan hosti yang sudah dikonsekrasikan.
Dalam Majalah HIDUP edisi NO. 20, 17 Mei 2015, diceritakan tentang makam Bunda Maria. Apakah makam Bunda Maria ini tidak bertentangan dengan dogma Maria Diangkat ke Surga?
Wisnu Trimandaru, Jakarta
Pertama, menurut tradisi yang sudah sangat kuno, Maria melewatkan masa tua di Yerusalem dan wafat di sana. Hal ini dapat dijumpai dalam beberapa tulisan apokrif abad II sampai IV. Meskipun termasuk apokrif, namun tulisan-tulisan itu memiliki nilai historis untuk menunjukkan tradisi awal yang ada. Tradisi ini diterima para Bapa Gereja dari Timur maupun Barat. Jadi, Maria mengalami kematian atau “dormitio” atau “transitus” di Yerusalem, kemudian dimakamkan di sana. Makam Maria menjadi satu tempat ziarah di Tanah Suci. Memang di Tanah Suci ada dua tempat “dormitio” yaitu “dormitio virginis” di Bukit Sion dan “Basilica of Dormition” di Bukit Zaitun. Menurut tradisi, Maria wafat di “ dormitio virginis” di Bukit Sion, dan kemudian dimakamkan di “Basilica of Dormition” di Bukit Zaitun.
Kedua, adanya makam Bunda Maria tak bertentangan sama sekali dengan dogma Maria Diangkat ke Surga, karena menurut tradisi yang sangat kuno, Bunda Maria mengalami kematian terlebih dahulu dan baru kemudian diangkat ke surga dengan jiwa dan raga yang telah disucikan. Memang pernyataan dogma Maria Diangkat ke Surga tak secara khusus membahas tentang kematian Maria dan membiarkan butir ini tetap terbuka untuk didiskusikan. Tapi para Bapa Gereja baik dari Barat (Ambrosius, Agustinus) maupun dari Timur (Efrem, Epifanius, Yohanes Damascenus) menyatakan bahwa Maria mengalami kematian. Demikian pula pendapat umum para teolog saat ini cenderung mengkonfirmasi bahwa Maria mengalami kematian dahulu, baru kemudian diangkat ke surga.
Petrus Maria Handoko CM