HIDUPKATOLIK.com – Meskipun sah secara hukum, upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja tidak memenuhi nilai kelayakan sebuah upacara sakramen. Maka, perlu pastoral persiapan pernikahan bagi calon pasangan suami istri.
Monsinyur, kita ngobrol-ngobrol sebentar yuk tentang pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja,” bisik Sekretaris Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Hibertus Hartono MSF kepada Ketua Komisi Keluarga KWI Mgr Franciscus Kopong Kung. Mereka berdua pun duduk bersebelahan. Romo Hartono langsung angkat bicara.
“Saya pribadi tidak setuju upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan berlangsung di luar gedung gereja,” kata Romo Hartono saat ditemui di sela Rapat Pleno Komisi Keluarga KWI di kawasan Cipayung, Jawa Barat, pertengahan Juni lalu. Meskipun pernikahan tersebut sah, karena telah melewati prosedur, namun nilai sakramental dalam pernikahan tidak tampak. “Setiap imam pasti punya prinsip masing-masing dalam menanggapi permintaan calon pasangan suami istri yang ingin melangsungkan upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja,” lanjut Romo Hartono.
Romo Hartono melambangkan sakramen dan pemberkatan pernikahan adalah sebuah puncak perayaan pengalaman iman atau perayaan sakramental. Dalam perayaan iman itu calon pasangan suami istri mencicipi pengalaman persatuan dan cinta surgawi bersama Allah, persatuan cinta antara Yesus Kristus dan Gereja ketika mengucapkan janji perkawinan. Maka, upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan selayaknya dilangsungkan di tempat yang kudus, yakni di gereja. “Di gereja atau kapel ada tabernakel yang melambangkan kehadiran Allah, sehingga janji perkawinan calon pasangan suami istri tidak hanya disaksikan imam dan umat, tetapi juga diucapkan di hadapan Allah,” tandas Romo Hartono.
Pastoral longgar
Mgr Frans Kopong yang sedari tadi diam, mulai menghangatkan pembicaraan. Ia mengatakan, pernikahan bukanlah karya wisata. Banyak calon pasangan suami istri yang ingin merayakan pernikahan dengan suasana yang berbeda, tapi justru mengesampingkan sisi sakralitas sakramen dan pemberkatan pernikahan.
Menurut Uskup Larantuka ini, upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja terjadi karena ada kelonggaran dalam sebuah kebijakan pastoral. Padahal, setiap upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan yang berlangsung di suatu tempat tertentu seharusnya mendapatkan izin dari pastor paroki setempat. Begitu pula dengan imam yang memberkati pernikahan tersebut. Jika ia memberkati pernikahan di luar keuskupan tempat ia berkarya, maka ia harus mendapat izin dari uskupnya. Ia juga harus mendapat delegasi dari pastor paroki, tempat diadakan pemberkatan pernikahan.
“Upacara perkawinan itu bukanlah perayaan dua orang atau satu keluarga saja. Ini upacara yang dirayakan bersama seluruh umat, stasi, dan paroki. Kalaupun dilaksanakan di luar gedung gereja, pasti ada pertimbangan pastoral khusus,” ujar Mgr Frans Kopong. Pastoral khusus yang dimaksud misal dalam keadaan darurat, salah satu pasangan sedang sakit atau kecelakaan, atau kondisi khusus yang lain. Dalam situasi demikian, upacara pernikahan bisa diadakan di rumah atau “tempat lain yang layak”.
Romo Hartono menegaskan bahwa semua imam pasti tidak menyetujui upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja. Namun, yang sering terjadi adalah ada kedekatan relasi antara si imam dengan calon pasangan suami istri yang ingin mengadakan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja. “Nah, di sini terkadang prinsip perayaan iman dalam pernikahan dikesampingkan,” tutur Romo Hartono.
Mgr Frans Kopong menimpali, memang belum ada aturan yang tertulis secara detil bahwa upacara pernikahan tidak boleh dilakukan di luar gedung gereja. Namun, dalam panduan Liturgi Perkawinan Katolik, dikatakan bahwa pernikahan sebaik nya dirayakan di gereja atau kapel. Romo Hartono menambahkan, “Syarat upacara pernikahan ada dua, yakni valid dan licit. Sah secara hukum belum cukup, ia juga harus licit atau layak sebagai sebuah puncak perayaan iman. Dua hal ini demi menjaga kesucian perkawinan. Jadi, upacara pernikahan yang berlangsung di luar gedung gereja bersifat tidak licit.”
Gaya hidup
Senada dengan Mgr Frans Kopong dan Romo Hartono, Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Romo Alexander Erwin Santoso MSF mengatakan, bahwa pernikahan Katolik harus mengikuti tata cara pernikahan Gereja Katolik. “Termasuk tempat pernikahan Katolik yang memadai secara hukum maupun iman.”
Romo Erwin mensinyalir, pernikahan yang dilakukan di luar gereja itu lantaran terpaan budaya, terutama dari negara-negara Barat: pernikahan tidak harus terikat dalam gedung gereja; pernikahan bisa di langsungkan di hotel, taman, pantai, dan tempat-tempat yang lain. “Ironisnya, budaya itu justru dianggap sebagai trend dan cara pandang yang baru oleh calon pasangan suami istri Katolik, terutama mereka yang memiliki tingkat ekonomi lebih dari cukup. Saya khawatir ini menjadi lifestyle. Padahal, agama tidak bisa dijadikan lifestyle, karena agama bukan gaya hidup,” kata Romo Erwin.
Sebenarnya, lanjut Romo Erwin, dalam upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan ada beberapa hal yang bisa divariasi. Misalnya pakaian pernikahan, dekorasi, dan lagu-lagu. Namun, upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan tetap di dalam gedung gereja. Karena sesederhana apapun, jika dilaksanakan di dalam gereja akan lebih khusyuk dan sakral. “Tradisi pernikahan Katolik sejak dulu seperti itu dan warisan tradisi ini harus tetap dipertahankan.”
Romo Erwin memberi contoh, umat kristiani yang seperti berlomba-lomba berziarah ke Yerusalem lantaran mereka mengimani tempat tersebut adalah tempat yang tepat untuk menambah keimanan kepada Yesus. Hal tersebut sama dengan gereja sebagai tempat yang tepat untuk melangsungkan upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan Katolik.
Namun, Romo Erwin berpendapat, dalam konteks Gereja KAJ, fenomena upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja belum terlampau mendesak. Karena, belum ada calon pasangan suami istri yang melangsungkan upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja. Meski demikian, fenomena tersebut perlu disadari dan ditanggapi.
“Maka, kami, Komisi Kerasulan Keluarga KAJ membuat modul Kursus Persiapan Perkawinan. Kursus ini bisa menjadi sarana untuk menyampaikan hal-hal yang mesti dipersiapkan dan dipahami calon pasangan suami istri dalam pernikahan Katolik.”
Takas Tua