HIDUPKATOLIK.com – Para calon pasangan suami istri terkadang bingung memilih lagu dalam perayaan penerimaan Sakramen Perkawinan. Tak ayal, mereka memilih asal-asalan karena tak ada panduan.
Westlife, sebuah boyband asal Irlandia, sempat menggeparkan dunia dengan hits berjudul “I Have A Dream”. Sekalipun sudah membubarkan diri pada 2012, lagu masih diingat anak muda sampai kini. Lirik lagunya mudah diingat, sederhana, dan mengena di hati. “I have a dream, a song to sing. To help me cope with anything. If you see the wonder of a fairy tale…”
Liriknya menggambarkan bahwa hidup tak selamanya berjalan seperti yang diinginkan. Kadang naik, kadang juga turun, seperti kata pepatah “setiap kegagalan adalah tahapan meraih kesuksesan”. Tergantung cara orang menyikapinya, tetapi pada akhirnya hanya kepada Sang Pemilik. Semua mimpi bisa menjadi nyata bila kita berani mengejarnya.
Tak jarang, lagu ini menjadi pilihan utama dalam liturgi perkawinan. Bahkan di beberapa paroki, lagu ini menjadi pilihan untuk mengiringi perarakan persembahan atau komuni. Melodi sedih dan melankolis, bak “sihir” bagi calon pasangan suami istri. Tetesan air mata ikut mengalir seirama lagu ini. Sepertinya, upacara pernikahan tak memiliki arti, tanpa lagu ini.
Selera Pengantin
Lagu “I Have A Dream” adalah satu dari sekian lagu pop, yang jamak digunakan dalam perayaan liturgi perkawinan. Khazanah lagu non liturgis ini cukup marak di tengah umat. Perkembangan ini menimbulkan keprihatinan. Liturgi diserbu oleh nyanyian non liturgis. Lebih mencemaskan lagi, ketika orang tidak mau tahu akan perbedaan khazanah liturgi dan non liturgi.
Romo Harry Hermanus Ignatius Singkoh MSC berpendapat, nyanyian liturgi tidak dikarang-karang tapi dicipta. Sang pencipta mestinya punya suasana hati yang terinspirasi, ketika mulai mencipta. Tentu, ia mesti menguasai teori musik dan perbendaharaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nyanyian terdiri dari syair dan melodi, yang saling memperkaya satu sama lain. “Syair nyanyian liturgi adalah suatu doa. Isinya bisa dipertanggungjawabkan dari segi Kitab Suci, teologi, dan liturgi,” ujar Ketua Seksi Musik Liturgi, Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (Komlit KWI).
Dalam konteks nyanyian liturgi perkawinan, lanjut Romo Harry, syair bukan semata-mata “romantis ilahi” tentang perkawinan. Gambaran sedemikian bukanlah suatu doa. Ilmu musik, bentuk melodi, dan komposisi, perlu dikuasai seorang pencipta lagu. Dari syair yang bagus, akan lahir melodi yang bagus, demikian sebaliknya. Keduanya akan membentuk nyanyian yang suci, yang memperkaya liturgi.
Dosen Musik Liturgi Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Manado ini mengungkapkan, bahwa liturgi bukan sembarang liturgi dan bukan liturgi yang sembarangan. Dalam liturgi perkawinan, tema misteri perkawinan hendaknya mewarnai nyanyian-nyanyian tersebut.
Nyanyian populer tidak bisa menjadi nyanyian liturgi, termasuk tidak bisa menjadi nyanyian liturgi perkawinan. Mungkin melodinya bagus, tetapi melodi yang bagus belum tentu liturgis. Liturgi perkawinan bukan liturgi tangis-menangis, karena melodi begitu menggugah perasaan. “Syair nyanyian liturgi perkawinan merupakan suatu doa. Di dalamnya, umat beriman dan kedua mempelai diajak menghadap hadiratNya, terungkap karya Allah bagi kita dan bagi kedua mempelai, serta ada sujud dan syukur kita pada Allah.”
Bobot Liturgi
Mengungkit soal musik pop dalam khazanah liturgi perkawinan, Petrus Somba, pengarang lagu sekaligus tim penyusun buku Nyanyian Liturgi Perkawinan mengutarakan, bahwa musik pop, disebut pop karena mudah untuk dihafal, dinyanyikan, dan melodinya cenderung singkat. Meski demikian, melodi yang pendek itu tidak bisa mengakomodasi nyanyian liturgi yang adalah doa. Petrus mencontohkan, doa Bapa Kami terdiri dari kalimat lengkap dan tidak bisa dipotong-potong. Pemotongan akan menghilangkan makna. Itu sebab, kata Petrus, musik pop kurang cocok untuk liturgi. Bukan masalah boleh atau tidak menggunakan, tetapi lebih ke arah pantas atau tidak.
Kendati begitu, Petrus tak menampik bahwa masih ada anggota kor, Romo paroki, anggota dewan paroki yang belum memahami bahwa saat melayani Misa perkawinan yang dilayani bukan pengantinnya. Liturgi perkawinan bukan milik pengantin. “Seringkali banyak orang terjebak dalam situasi kepuasan pengantin dan mengabaikan kaidah liturgi yang sah. Di sinilah peran para Romo paroki, para dirigen, organis, dan pelayan liturgi,” ungkapnya.
Soal “kepuasan pengantin”, anggota Komlit KWI, Hubertus Yulius Asno menambahkan, semua orang yang terlibat dalam liturgi perkawinan harusnya menyadari dasar penilaian lagu liturgi. Asno memerinci beberapa dasar penilaian, yaitu, pertama, harus terdapat dalam buku Tata Cara Perkawinan. Kedua, ada pertimbangan liturgis yaitu gerak ganda liturgi: pengudusan manusia oleh Allah dan pemuliaan Allah oleh manusia. Ketiga, pertimbangan teologis kristologis: mengungkapkan peranan Yesus Kristus dalam karya keselamatan. Keempat, pertimbangan Eklesial: mengungkapkan dan membangun persekutuan umat.
Asno menilai bahwa selama ini para calon pengantin gemar memasukan lagu pop atau daerah yang tidak mempunyai bobot liturgis. Lagu-lagu tersebut, buat Asno, bisa dibawakan sesudah berkat penutup, saat peng ambilan foto, atau saat acara salam-salaman kepada kedua mempelai. Agar tidak salah kaprah, Asno berpesan agar para penulis dan pengarang lagu, harusnya memberi sosialisasi soal karya yang bersifat liturgis atau non liturgis. “Jangan sampai, nyanyian yang sebaiknya dinyanyikan di luar gedung gereja atau di ruang resepsi menjadi lagu liturgi,” tegas Asno.
Pastoral Perkawinan
Selama ini, Gereja Katolik Indonesia memiliki dua buku liturgi. Buku pertama berjudul Upacara Perkawinan yang diterbitkan Komlit KWI (1976), berdasarkan naskah Ordo Celebrandi Matrimonium (OCM), dan Tata Perayaan Perkawinan (1969). Dalam perjalanan, Kongregasi Ibadat Suci menerbitkan buku Tata Perayaan Perkawinan edisi kedua OCM, edition typical altera, tahun 1991.
Berdasarkan terbitan edisi kedua, tahun 2011, KWI mengeluarkan buku Tata Perayaan Perkawinan (TPP) dengan aneka penyesuaian. Pada Sidang KWI, November 2016, para Uskup mengharapkan perlu sosialisasi buku TPP, agar para imam dan umat mengenal dan menggunakan buku tersebut ketika merayakan Sakramen Perkawinan.
Para Uskup berharap agar katekese dalam kursus-kursus perkawinan diberi bobot perhatian yang lebih lagi. Program harus jelas baik materi, tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tujuannya, agar para calon pengantin memahami perkawinan dari sudut pandang teologi, psikologi, moral, kesehatan, ekonomi, seksualitas, dan gender.
Sementara di Keuskupan Agung Jakarta, Komisi Kerasulan Keluarga telah merancang program Membangun Rumah Tangga (MRT). MRT ini mempunyai empat fungsi, yaitu meneguhkan iman, meningkatkan pengetahuan yaitu mendidik dengan jelas dan tepat tentang Sakramen Perkawinan, meningkatkan keterampilan pasangan suami istri, serta meneguhkan iman calon pasangan suami istri untuk memberi kesaksian di tengah umat.
Anggota tim perumus MRT, Romualdus Adrianto Gunawan dan Maria Francisca Endah Lestari mengatakan, dari panduan ini diharapkan para peserta MRT harus hati-hati memilih lagu saat menerimakan Sakramen Perkawinan. Karena dalam panduan itu sudah banyak pilihan lagu. Panduan ini sebenarnya memudahkan para peserta MRT karena sudah ada daftar lagunya. “Kami sudah memberikan acuan standar. Jadi, para pasangan memang benar-benar tinggal mengikuti panduan yang ada.”
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Christophorus Marimin/Marchella A. Vieba