HIDUPKATOLIK.com – Virus mematikan telah menderanya. Namun, ia berjuang untuk bangkit dan berani memberikan kesaksian hidup tentang apa yang ia alami. Ia tak ingin orang lain mengalami keterpurukan yang sama.
John Matius lahir di Yogyakarta, 3 Agustus 1969. Namun, ia dibesarkan di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Tahun 1994, ia memutuskan merantau ke Jayapura, Papua. Demi mempertahankan hidup di tanah rantau, ia bekerja sebagai buruh bangunan. Namun karena hasilnya pas-pasan, ia mencari pekerjaan lain. Dari ajakan teman, ia akhirnya menjadi pencari kayu gaharu. Pekerjaan ini membuat kehidupannya “menanjak”. Namun, hasil jerih payahnya ia gunakan untuk hal-hal negatif, mabuk-mabukan dan seks bebas tak jauh dari hidupnya ketika itu.
Hidup rohani, doa pribadi maupun mengikuti Ekaristi di gereja tak pernah disentuhnya. John terlena dengan gaya hidup negatif tanpa berpikir akan risiko yang akan menimpanya.
Hingga suatu hari, John mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Berbagai pengobatan telah ia jalani, mulai pengobatan tradisional sampai modern. Semua tak ada hasilnya, badannya semakin kurus, tubuhnya menjamur dan kulitnya mulai mengelupas.
John memeriksakan diri ke sebuah Puskesmas. Seorang perawat menjelaskan hasil pemeriksaan kesehatannya. Ia tersenyum mendengar penjelasan perawat. “Senyuman itu hanya untuk menutupi kesedihan hati. Saya tak percaya dan tak menerima apa yang dikatakan perawat,” ungkapnya. Ia positif mengidap HIV/AIDS, penyakit yang siap merampas seluruh kehidupannya.
Bayang-bayang Kematian
Bagi John, mengidap HIV/AIDS sama dengan memikul kematian. Depresi, ketakutan serta rasa malu terhadap keluarga dan semua kenalan menyelimuti hatinya. Sang istri pun berniat memulangkan John ke kampung halaman. Mengetahui itu, terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidup.
Malam sebelum ia kembali ke kampung halaman, banyak keluarga dan kenalan datang mengunjungi John yang terpasak di ranjang. Melihat kondisi John, keluarga dan kenalan pasrah. Mereka mengira malam itu adalah perjumpaan terakhir mereka dengannya. Mereka heran, tak seperti biasa John duduk di ranjangnya.
Malam itu, John merasa mengalami pengalaman iman yang mengubah hidupnya. Ia seolah merasa Tuhan menyapa dan memintanya untuk menjadi orang yang lebih baik.
Pengalaman itu menjadi titik kebangkitan John dari keterpurukan. Ia mulai mencecap cinta Allah dalam hidupnya. Semangat untuk memulai hidup baru menggelora dalam sanubarinya. “Saya bersyukur atas kasih Allah yang saya rasakan. Allah mencintai dan akan terus menjaga saya sesuai janji-Nya,” paparnya.
Setelah beberapa waktu tinggal di kampung halaman, John kembali ke Papua. Waktu itu, John dirundung kesedihan lain. Istri yang dinikahinya pada 2007 telah meninggalkannya. Dulu, mereka menikah bukan secara Katolik. Menghadapi kenyataan pahit itu, John berusaha tetap semangat untuk memulihkan kesehatannya.
Ada seorang perawat yang terus mendampinginya dalam proses pengobatan, mengunjungi dan membawakan obat. Kehadiran suster itu turut menumbuhkan semangat dan motivasi hidupnya. Perlahan kondisinya membaik. Ia mulai datang ke rumah sakit sendiri untuk memeriksakan kesehatan dan mengambil obat. Tak kenal lelah, ia setia menjalani pengobatan.
“Saya mendapatkan pengalaman berharga ketika sedang berkunjung ke sebuah rumah sakit di Jayapura. Saya melihat seorang ibu penderita HIV/AIDS (ODHA) yang secara fisik sangat sehat, tak terlihat sakit seperti saya,” kenang John. Perawat yang mendampinginya mengatakan, John bisa seperti ibu itu kalau mau minum obat teratur dan mengikuti semua anjuran dokter. John pun terpacu untuk berjuang demi kesehatannya.
Rasa sedih kembali menyelimuti John, ketika perawat yang menjadi sahabatnya meninggal dunia akibat kecelakaan. Ia merasa kehilangan seorang sahabat. Hal itu seakan membuatnya tak tahu bagaimana lagi menjalani kehidupannya.
Ketika harapan hidup seperti memudar, seorang rekan mendiang perawat itu kemudian melanjutkan tugas pendampingan bagi John. Tentu ia merasa senang dan semangatnya kembali berpijar. Kesehatannya berangsur membaik hari demi hari. Akhirnya, ia dinyatakan sehat dan bisa kembali menjalani kehidupan layaknya orang biasa.
Hidup Baru
John mulai membuka diri dan menjalani hidup baru. Pada 1 Desember 2007, ia diundang hadir dalam acara peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Jayapura, bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua.
John berbicara di hadapan umum, membuka dirinya untuk pertama kali. Ia bertekad untuk menjadi saksi bagi semua orang. “Cukup hanya saya saja yang mempunyai virus ini. Jangan lagi orang lain ikut mengalaminya,” tandas John. Hal itu menjadi misi pribadi yang mendorongnya untuk bangkit dari keterpurukan dan menumbuhkan keberanian untuk tampil memberikan kesaksian hidup di tengah masyarakat dan sesama ODHA. Ia ingin mewartakan terang di tengah kegelapan dunia HIV/AIDS.
Keterbukaan dan tekadnya menjadi kesaksian bagi sesama. Pengalaman hidupnya telah membuktikan bahwa HIV/AIDS bukanlah akhir dari segalanya. “Bukan juga kutukan Tuhan. Allah selalu mencintai setiap orang, betapa pun besar dosa dan kesalahannya, dan apa pun keadaannya,” tandasnya.
Menurutnya, Allah selalu memberikan kita kesempatan untuk hidup di dalam cinta-Nya. John berharap, diskriminasi dan stigma pada ODHA di masyarakat bias dihilangkan. Ia ingin memberikan diri untuk orang lain. Ia terpanggil untuk melakukan sosialisasi tentang pencegahan HIV/AIDS di tengah masyarakat.
Saat ini, John terlibat dalam sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Noken Papua di Kabupaten Jayapura. Bersama LSM ini, ia terlibat dalam pendampingan bagi penderita HIV/AIDS. Ia terus berkeliling kampung, sekolah-sekolah dan berbagai kelompok kategorial untuk mensosialisasikan bahaya HIV/ AIDS, sekaligus memerangi stigma buruk bagi ODHA.
LSM Noken berawal dari pembentukan Komunitas Kelompok Dukung Sebaya Cyclop Plus Community (KDS CPC) untuk menghimpun para ODHA Kabupaten Jayapura tahun 2012. Pada 28 Desember 2012, KDS CPC disahkan oleh Bupati Jayapura dengan nama LSM Noken Papua. Dan sejak pengesahan itu, umat Paroki Kristus Terang Dunia Waena, Keuskupan Jayapura ini, didaulat sebagai Ketua LSM Noken Papua hingga saat ini.
Laki-laki yang kemudian menikahi Maria Sri Utami pada 2012 di Gereja Kristus Terang Dunia Waena ini, berusaha terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia membuka usaha yang ia kerjakan di sekitar rumahnya. Ia beternak babi, membuka cucian motor, dan menyewakan kamar kos.
John ingin menunjukkan bahwa seorang ODHA juga bisa bekerja dan hidup layaknya orang sehat. Ia tak ingin terus berkubang dalam keterpurukan dan belas kasihan orang lain. Dengan keringatnya sendiri, ia ingin membahagiakan keluarganya. Baginya, sejauh mampu bekerja, ia akan terus bekerja asalkan tidak merugikan orang lain.
John tak ingin menyerah pada keterbatasan dirinya. “Bukan karena kehebatan saya, melainkan karena kasih Allah dalam hidup saya,” tegasnya. Ia akan terus hidup, bekerja, menafkahi keluarganya, dan melakukan sosialisasi untuk memerangi penyebaran HIV/AIDS. Walaupun ia tahu, semua itu tidaklah mudah. Namun, ia percaya dan bersandar pada janji Allah. Ia percaya Allah selalu setia mencintai dan tak akan pernah meninggalkan umat-Nya.
Aloyesius Rahawadan/Maria Pertiwi