HIDUPKATOLIK.com – Dear Romo Erwin, saya Andrie, tinggal di Yogyakarta, berusia 27 tahun. Sudah sekitar tiga tahun, saya menjalin hubungan dengan pria Muslim, seorang duda yang sah cerai. Dari awal hubungan, kami berkomitmen untuk serius dan berniat untuk melanjutkan pernikahan secara Katolik dengan tetap pada keyakinan masing-masing. Akhir-akhir ini, desakan dari keluarga pria untuk menikah secara Islam, agak membuat pasangan saya bimbang. Romo, apakah gereja Katolik mengizinkan pernikahan beda agama dengan duda cerai? Kira-kira apa solusi terbaik untuk masalah saya ini?
Andrie, Yogyakarta
Andrie yang sedang bingung. Saya mengerti bagaimana kisah cintamu jadi kurang nyaman dan bahkan membingungkan. Berpacaran dengan pasangan beda agama akan berujung pada kesulitan seperti ini. Agama bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditoleransi, terutama oleh pihak keluarga besar, karena bagi mereka, yang ada adalah taat pada agama atau melawan, bukan urusan cinta.
Anda akan banyak mengalami hal serupa baik karena keluarga besar maupun karena calon Anda sendiri. Gereja, pada hakikatnya dapat menerima perkawinan campur, meskipun dengan berat hati, karena melihat kenyataan banyaknya kasus pihak Katolik yang jatuh cinta dan memutuskan untuk hidup bersama pasangan yang non-Katolik. Gereja Katolik melayani perkawinan beda agama itu dengan tata cara Katolik tertentu.
Selanjutnya, ada masalah dengan pasangan Anda yang telah menjadi duda. Ia duda cerai sehingga ada kemungkinan besar terhalang untuk menikah dengan Anda, karena pernikahan seagama (sesama Muslim) bagi Gereja Katolik adalah pernikahan yang sah yang tak terceraikan, seperti pernikahan Katolik dengan Katolik. Status tidak terceraikan ini hanya berkaitan dengan orang yang ingin menikah dengan pihak Katolik, tanpa memandang bahwa di dalam agamanya ia telah sah bercerai.
Masalah terbesar adalah tidak mungkinnya bagi calon Anda untuk menikah dengan Anda kecuali ia mau dibaptis menjadi Katolik. Proses ini disebut Privilegium Paulinum (KHK 1143-1147). Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tak dibaptis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman pihak yang telah menerima baptis. Hal ini dapat diberikan asalkan pihak isteri pertama (Muslim) pergi atau telah bercerai dengan duda yang menjadi calon Anda.
Anda harus dapat memastikan bahwa pihak isteri pertama memang telah bercerai dengan damai dan pihak calon pasangan Anda memang juga telah bercerai dengan rela hati, bukan karena sesuatu yang lain (bdk. KHK 1144 §1), misalnya karena Anda sendiri menjadi “pihak ketiga” penyebab perceraian. Hal ini diingatkan agar nantinya Anda tidak mengalami kesulitan berkaitan dengan tuntutan dan masalah lain yang belum selesai dalam perkawinan pertama.
Calon pasangan Anda harus dengan pasti ditanyai mengenai kemauannya untuk menerima baptis. Ia harus dengan kemauan sendiri mau menerima baptis dan mau hidup bersama Anda serta tidak menyulitkan hidup beriman Anda sebagai orang Katolik. Hal ini dilakukan sesudah ia menerima baptis dan sebelum perkawinan dilangsungkan. Pastor paroki sebagai petugas dapat menanyai sebelumnya, jika dianggap perlu sebelum menerima baptis Katolik. Proses ini disebut interpelasi (menanyai kesungguhan).
Masalah keluarga akan tetap menjadi masalah yang besar, jika pasangan Anda tidak berkehendak kuat untuk menikah secara adil di dalam Gereja Katolik. Keluarga besar selalu akan menjadi tekanan jika pasangan Anda merasa terpaksa. Jika pasangan Anda termasuk pribadi yang lemah kehendak, maka Anda akan semakin menemui kesulitan dalam menjalani hidup bersama sesudah menikah, karena ia dapat menyalahkan Anda atau banyak tuntutan karena merasa “telah berkorban” banyak untuk Anda.
Ingatlah, dalam Gereja Katolik tidak ada paksaan untuk menikah atau paksaan untuk menjadi Katolik, tetapi pihak pasangan Anda pernah menikah dan mempunyai masalah bersama isteri pertama, sehingga peraturan ini diterapkan untuk membantu mengurangi masalah dalam perkawinan Anda di kemudian hari.
Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF