HIDUPKATOLIK.COM – Dua kardinal bertemu, berbagi refleksi tentang spiritualitas Ignatian, Sabtu 31 Juli 2020 sekitar dua jam, masing-masing satu jam. Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ (85) dan Bapak Ignatius Kardinal Suharyo (70). Kardinal Darmaatmadja (Julius) diwawancara oleh Romo Tomi Subardjo, SJ di Wisma Emaus Girisonta, Semarang, Kardinal Suharyo oleh Romo Kristiono Puspo, SJ di Wisma Keuskupan, Jakarta. Pertemuan dua kardinal ini merupakan yang pertama sepanjang sejarah virtual Gereja Indonesia, bagian dari perayaan syukur pesta nama Santo Ignatius de Loyola, pendiri Serikat Yesus (SJ), yang jatuh tanggal 31 Juli itu.
Pilihan narasumbernya istimewa. Kardinal Julius adalah anggota SJ, Kardinal Suharyo menyandang nama baptis Ignatius. Kardinal Julius adalah Romo Prefek Medan Madya Seminari Mertoyudan ketika Kardinal Suharyo sedang menempuh studi di sana. Kardinal Suharyo menjadi pengganti Kardinal Julius sebagai uskup di Semarang, Jakarta, dan Keuskupan Umat Katolik TNI/Polri. Tiga pertanyaan diajukan. Kapan mengenal spiritualitas Ignatian? Bagaimana spiritualitas Ignatian memperkaya kehidupan iman dan karya penggembalaan? Apa makna pandemi yang saat ini masih terjadi?
Kardinal Suharyo mendapat giliran pertama. Mengapa nama Ignatius dipilih sebagai nama baptis? Pertanyaan ini sulit dijawab, sebab yang memberi nama baptis bapaknya, Florentinus Amir Hardjodisastro (alm). “Kalau mau tahu, harus tanya ke bapak saya yang saat ini mungkin sudah bertemu St. Ignatius,” seloroh Kardinal Suharyo. “Selama ini saya tidak pernah menanyakan. Hanya ketika di seminari menengah, kelas dua SMA, ada kakak kelas yang memberi tiga jilid buku stensilan tentang St. Ignatius. Maksudnya memberikan insight pada saya. Kakak kelas saya ini kemudian masuk Jesuit, sekarang sudah almarhum.” Ketika lulus seminari menengah, ternyata ia memilih ingin jadi imam diosesan. Ketika di Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, hampir semua pembimbingnya Jesuit, kecuali Mgr. V. Kartosiswaya (alm). Karena itu spiritulitas Ignatian mewarnai proses formasi pendidikan di Seminari Tinggi Kentungan. Kardinal Suharyo menemukan kata kunci spiritualitas Ignatian, yakni contemplatio in actione (kontemplasi dalam aksi/kegiatan).
Perjumpaan Kardinal Suharyo dengan spiritualitas Ignatian berkembang ketika studi di Roma. Rektor Universitas Gregoriana, Kardinal Carlo Martini, menulis banyak buku dan renungan tentang spiritualitas Ignatian yang dikaitkan Injil Matius dan Injil Yohanes. “Karena saya sedang belajar Kitab Suci, saya tertarik dengan refleksi Kardinal Martini dan dengan sendirinya tentang spiritualitas Ignatian.” Baginya yang menarik adalah dasar Latihan Rohani No. 23 tentang Asas dan Dasar. Dalam kehidupan umat beriman, antara asas dan dasar ada tegangan (bukan ketegangan), antara yang seharusnya dan yang terjadi. Ini serupa dengan dinamika kehidupan Gereja, yang kalau dikaitkan dengan injil Matius muaranya terdapat dalam Bab 28, “… Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mt. 28: 20).
Kardinal Julius mengenal spiritualitas Ignatian ketika di novisiat. Di sana ia membaca kisah-kisah tentang para kudus. Ketika membaca kisah Santo Ignatius dari Loyola (1491-1556), ia berpikir hidup itu pergulatan. Ignatius (nama baptisnya Inigo) juga begitu. Ia berjuang sebagai tentara mengabdi kepada raja, baru menyerah ketika kakinya kena peluru tahun 1521, kemudian bertobat. Ia lantas mengabdi kepada Yesus Kristus, Raja Semesta Alam. Ignatius seperti Paulus. Apakah spiritualitas Ignatian berpengaruh besar pada karya penggembalaan beliau? “Saya tidak berani mengatakan murni berpengaruh, sebagai imam maupun sebagai uskup,” jawab Kardinal Julius. Kerendahan hati adalah teladan Santo Ignatius. “Tuhan yang berkarya, kita sebagai alat”. Karena itu ketika ditahbiskan sebagai uskup, Kardinal Julius memilih motto “In Nomine Iesu” (Dalam Nama Yesus). “Tuhan yang berkarya, bukan saya. Tuhan yang akan memenuhinya.”
Titik-titik Temu
Menjawab pertanyaan ketiga soal pandemi, ada titik-titik temu di antara kedua kardinal. Selama pandemi, tumbuh semangat solidaritas yang sebelumnya agak dilupakan. Spontanitas muncul untuk berbagi. Sebuah habitus baru. Sambil terus prihatin, menyembuhkan yang terpapar, mencegah persebaran dan menemukan vaksin anti virus, diingatkan apa yang dikatakan Paus Fransiskus. Memahami pandemi perlu ditempatkan dalam konteks perawatan lingkungan hidup. Habitus baru dengan edukasi pemakaian protokol kesehatan maupun tidak, perlu terus dilanjutkan, pun ketika pandemi sudah berakhir. Pandemi, selain menumbuhkan solidaritas dan kesadaran merawat lingkungan hidup, juga menjanjikan sesuatu yang baru. Cara hidup yang baru. Tuhan berkarya sering tidak tampak, dan kita diajak melihat yang tidak tampak itu.
Sebagai sharing, masuk akal acara tidak berlanjut dialog. Padahal ada dua topik menarik: sikap dan tindakan solidaritas, dan ajakan berperilaku ramah terhadap lingkungan. Jangan sampai perhatian, kegalauan dan kengerian terhadap virus, melupakan soal lingkungan. Jangan sampai perhatian terfokus pada pandemi saja, sementara di saat yang sama terlalaikan masalah penting yang lain. Pandemi memang harus dihadapi dengan serius sebab dampaknya memang dahsyat, tetapi spontanitas warga masyarakat pun sesuatu yang dahsyat.
Dengan solidaritas, mencair pelan-pelan sekat-sekat perbedaan. Muara solidaritas adalah keselamatan dan kebaikan bersama. Dengan solidaritas, penghargaan manusia dan kemanusiaan ditempatkan sebagai nilai tertinggi. Habitus baru bisa mengubah cara-cara kehidupan bersama. Taruhlah contoh dari sistem ekonomi yang tidak berkeadilan menjadi sistem ekonomi yang lebih adil, perpolitikan yang sudah telanjur sebagai sarana merebut kekuasaan, berubah sebagai sarana membangun kebaikan bersama (bonum commune).
Memperdalam titik-titik temu refleksi ajakan kedua kardinal berarti “mencoba melihat apa yang ada di balik fakta”, mengingatkan pesan Paus Fransiskus tentang keharusan perubahan perilaku terhadap lingkungan (Ensiklik Laudato Si’) atau tentang kehidupan bersama sebagai keharusan.
Dikutip dari tulisan Kardinal Julius, diingatkan pesan Paus Fransiskus. Ketika semua perhatian tersedot pada kasus virus korona, Paus Fransiskus kepada sebuah majalah, April lalu justru bertanya, “Siapa sekarang orang yang berbicara mengenai kebakaran di Australia, atau mengingat bahwa 18 bulan yang lalu sebuah kapal dapat menyeberang Kutub Utara, karena gletser-gletser sudah mencair. Siapa sekarang yang berbicara mengenai banjir”? (“Suara Bapak Kardinal” dalam Inspirasi. Lentera yang Membebaskan No. 191 Tahun XVI Juli 2020). Paus Fransiskus mengharapkan perlu pertobatan ekologis.
Topik spiritualitas Ignatian menjadi kapstok pencerahan tentang persoalan aktual yang dihadapi umat manusia, termasuk umat Katolik, utamanya di negara atau daerah yang terpapar virus. Dampak pandemi Covid-19 luar biasa dahsyat, tetapi tidak kalah dahsyat dampak keserakahan manusia terhadap pengrusakan alam lingkungan. Di sana relevan keyakinan Kardinal Suharyo, bahwa asas dan dasar spiritualitas Ignatian merupakan bagian dari dinamika Gereja. Spiritualitas Ignatian tidak hanya diresapi para Jesuit tetapi juga umat, sebab spiritualitas Ignatian adalah bagian dari dinamika Gereja.
Niscaya pertemuan dua kardinal yang lalu, selain peristiwa serba istimewa, juga kesempatan umat mendapatkan sharing langsung permenungan dan pencerahan yang prospektif, futuristik dan produktif. Di antaranya tentang habitus baru di masa pandemi yang perlu dilanjutkan ketika pandemi berakhir, dan keharusan menghentikan pengusakan alam lingkungan. Acara dua kardinal bertemu dan berbagi (dalam kesempatan lain), sangat diharapkan umat, utamanya dalam keadaan galau saat ini memberikan penguatan yang menyejukkan (mak nyes), bahwa Allah tetap berkarya, menyertai dan memberikan harapan bagi umatNya. Mak nyes, rasanya! Byar!
St. Sularto
Wartawan Senior