web page hit counter
Minggu, 24 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

BERLAYAR BERSAMA SANG RATU

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Jauh sebelum teknologi dan moda transportasi yang bervariasi, para misionaris SVD memilih perairan sebagai jalur misi awal.

SERIKAT Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) didirikan di Belanda tahun 1875. Serikat ini masuk ke Indonesia tahun 1912. Tonggak awal kedatangan misionaris SVD di wilayah Nusa Tenggara, ditandai dengan penyerahan wilayah misi dari Serikat Yesus (Societas Iesu/SJ), kepada serikat yang didirikan St. Arnoldus Janssen ini.

Kala itu, Indonesia yang merupakan kepulauan, jalur transportasi masih sangat terbatas, apalagi moda transportasi pun masih sangat sedikit. Pejalanan udara belum memungkinkan sehingga perpindahan manusia dari satu pulau ke pulau lain, hanya dapat dimungkinkan dengan jalur perairan. Awalnya, untuk mencapai daerah-daerah pelayanan, para imam SVD mengandalkan moda transportasi milik Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, perlahan ketergantungan ini diatasi.

Tahun 1920, Prefek Apostolik Ke-pulauan Sunda Kecil, Mgr. Petrus Noyen, SVD membeli sebuah sekoci kecil bermotor dari seorang penyelam mutiara. Sekoci itu dinamai Arnoldus. Kapal motor pertama milik SVD ini dikenal oleh masyarakat Flores dengan sebutan Nodu. Langkah ini menjadi titik awal, saat para misionaris pelan-pelan mengusahakan sarana transportasi bagi pewartaan Injil. Kehadiran Kapal Misi (KM) Arnoldus tidak saja berjasa bagi karya misi, namun juga memberi warna pada perkembangan manusia di Kepulauan Nusa Bunga itu.

Berkat Medali St. Theresia

Pada tahun 1942, Pastor Antonius Hubertus Thijssen, SVD serta sejumlah misionaris Belanda keluar dari kamp tawanan Jepang di Pulau Sulawesi.  Setelahnya, mereka bertolak ke Australia untuk memulihkan kesehatan. Pada saat inilah, Pastor Thijssen menerima surat berisi pesan dari Regional Ende, Pastor J. Bouma, SVD. Pesan tersebut berisikan permintaan tolong mencari sebuah kapal motor yang cocok untuk misi ke Flores. Kapal ini nantinya untuk menggantikan KM Arnoldus yang sudah lama tidak beroperasi.

Sebuah kapal motor milik Angkatan Laut Australia (RAAF) di Port Darwin kemudian dilirik Pastor Thijssen. Dalam benaknya, kapal militer ini cocok untuk digunakan di ladang misi di Nusa Tenggara. Namun RAAF enggan menjualnya. Dua kali Pastor Thijssen mencoba menawarnya. Pada kunjungan terakhirnya ini, Pastor Thijssen meninggalkan sebuah medali St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus. Ia pun berdoa dengan perantaraan orang kudus pelindung karya misi itu. “Santa Theresia, kalau Anda benar-benar adalah Pelindung Misi, usahakan supaya kami mendapatkan kapal ini. Saya tidak akan mengambil medali ini sampai kapal ini menjadi milik kami,” pintanya.

Mgr. Antonius Hubertus Thijssen, SVD (Dok. Wikipedia)

Mukjizat pun terjadi, doa Pastor Thijssen dikabulkan. RAAF bersedia menjual kapal itu. Pada tanggal 29 Agustus 1946, Pastor Thijssen menahkodai sendiri kapal itu meninggalkan Darwin menuju Kupang. Pastor Thijssen saat itu ditemani oleh beberapa awak kapal yakni, Pastor Mathias Van Stiphout, SVD, Bruder Viktor, SVD, dan Bruder Thomas, SVD. Mereka tiba di Kupang pada tangagl 31 Agustus 1946. Selanjutnya, kapal itu diberi nama KM St. Theresia dan menjadi ujung tombak karya misi.

Kapal  dengan panjang 18 meter dan lebar 5 meter ini dapat mengangkut 24 ton muatan. Kapal ini digerakkan dengan Motor Ray Marine Diesel 150 PK dengan kecepatan 7 mil per jam. Tanggal 2 September 1946, KM St. Theresia berlayar dari Kupang ke Ende.  Kapal motor ini membawa beberapa muatan antara lain sebuah mobil pick up dan dua buah motor untuk Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, serta 2000 lembar selimut wool untuk Seminari Menengah St. Yohanes Berchmans, Mataloko. Nahkoda pertamanya Mello Fernandez. Saat itu KM St. Theresia direncanakan melayani pelayaran di Flores, Timor, dan Sumba.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Armada Katolik

Selain medan geografis, komunikasi menjadi tantangan lain bagi karya misi. Pada tahun 1955, SVD kembali mendatangkan motor baru bernama KM Siti Nirmala yang dibuat di Surabaya. Selain Flores Timur dan daerah sekitarnya, KM Siti Nirmala melayari rute Ende, Maumere, dan Kalabahi, Pulau Alor. Namun setelah berlayar selama 20 tahun, KM Siti Nirmala dibeli oleh sebuah perusahaan di Labuhan Bajo.

Pada tanggal 8 Maret 1951, Pastor Thijssen ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Ende dengan gelar Uskup Tituler Nilopolis. Penunjukan ini bersa-maan dengan pergantian nama dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil menjadi Vikariat Apostolik Ende.

Menimbang untuk memperkuat ar-mada Katolik di Kepulauan Flores, Mgr. Thijssen lalu membeli kapal motor baru. Kapal itu dinamai KM Stella Maris dan dibuat di Travermunde, Jerman. Kapal motor ini berukuran 110 ton dengan daya muat 70 ton, panjang 30 meter, lebar 6,5 meter dan menggunakan motor Deutz Diesel 230 PK. KM Stella Maris tiba di Surabaya pada tahun 1959. Tugasnya melayani jalur Surabaya dan Nusa Tenggara dengan rute pelayaran Surabaya, Sumba, Timor, dan Flores.

Sebuah tragedi terjadi pada per-tengahan Bulan Desember 1963, saat KM Stella Maris berangkat dari Surabaya menuju Ende untuk mengantar para biarawati dan imam yang akan merayakan Natal di Flores. Belum jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, di dekat Pulau Madura, KM Stella Maris terbakar. 

Dalam kondisi itu, kapten kapal tidak membolehkan anak buah kapal (ABK) untuk terjun ke laut. Ia memerintah-kan agar mengosongkan muatan kapal, hingga mobil pun ikut dibuang ke laut demi menyelamatkan penumpang. Api berhasil dipadamkan dan KM Stella Maris ditarik kembali ke dermaga Tanjung Perak Surabaya untuk perbaikan.

Kapal Pamungkas

Sekali lagi Mgr. Thijssen mengambil keputusan untuk membeli sebuah kapal lagi. Mengingat karena kapal sebelumnya berukuran kecil dan dirasa tidak cukup untuk kebutuhan misi kala itu. Pada tahun 1964, ia memesan lagi sebuah kapal baru yang lebih besar. Kapal ini dibangun berdasarkan kontrak dengan Deutsche Entwicklungshilfe, dengan sketsa buatan Br. Marianus, SVD. Pemesanannya diserahkan kepada galangan kapal Schiffswerft JJ. Sietas Neuenfelde bei Hamburg yang mulai membuatnya Maret 1964.

Ukuran kapal motor ini panjang 50 meter, lebar 8,5 meter, dalam air 3 meter. Kapal ini menggunakan Motor Deutsz Diesel 420 PK dengan kecepatan 10 mil per jam. Daya muat bruto  431 ton, netto 350 ton. Kapal ini memiliki dua palka yakni tangki minyak dan tangki air minum. Ada 12 kabin dan 65 dek. Kapal ini juga dilengkapi alat radar dan alat telekomunikasi.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Diluncurkan oleh Uskup Pribumi II Indonesia, Mgr. Gabriel Manek pada tanggal 27 Juni 1964 di Hamburg dan “dibaptis” dengan nama KM Ratu Rosari. Pada akhir Agustus 1964, kapal tiba di Surabaya dan mulai beroperasi September 1964. Kapal ini melayari rute tetap pergi pulang Surabaya, Flores dan Timor. Kapal terakhir milik SVD ini dikenal paling legendaris dan paling berjasa dalam karya misi Gereja Katolik di Nusa Tenggara Timur (NTT) milik SVD.

Seorang anak buah kapal masih merawat perlengkapan di dalam KM Ratu Rosari. (Dok. Youtube)

Gereja Terapung

Sebagai manager KM Ratu Rosari saat itu adalah Pastor Stanislauw Pikor, SVD. Imam asal Polandia ini bertanggung jawab atas logistik, ABK dan permesinan. Ia juga merawat kehidupan liturgi untuk awak kapal dan penumpangnya. Masyarakat NTT menyebut kapal ini sebagai “gereja terapung”, karena terpampang jadwal Misa, doa angelus, dan doa bersama. Di dalamnya terdapat altar dan sakristi. Pastor Pikor merupakan salah satu dari “trisula” bersama Pastor Habil Yosef Glinka, SVD dan Pastor Josef Sievers, SVD.

Ruang mesin dipimpin Br. Marianus, SVD, yang membawa KM Ratu Rosari ke Indonesia dan mengabdikan dirinya merawat mesin kapal ini hingga Tuhan memanggilnya tahun 1990 dalam pelayaran dari Surabaya ke NTT. Saat itu, Kapten Joseph Pandai Bataona memutuskan singgah di Denpasar, Bali dan Br. Marianus kemudian dimakamkan di Denpasar.

Dari cerita di kalangan ABK, bruder asal Jerman ini mengajarkan mereka untuk selalu merawat kapal dengan bersih. Bruder ini juga dikenal punya telinga yang tajam. Bunyi mesin yang agak fals saja langsung ia tahu. Ia pun mengerti dengan pasti, bagian mesin mana yang perlu diperbaiki.

Sebagai kenangan, di ruang mesin tampak sebuah foto kenangan di atas pelabuhan Kota Renya atau Larantuka. Di foto itu, Br. Marianus tersenyum lebar sambil menjabat tangan Mgr. Thijssen, yang ketika itu sudah diangkat menjadi Uskup Larantuka. Di Ruang Kapten, tampak tergantung foto kenangan Mgr. Thijssen sedang mencoba kemudi kapal didampingi Kapten Pontoh dan stirman I ketika itu Joseph Pandai Bataona.

Nuansa Kekatolikan

Sejak tahun 1964 sampai menjelang tahun 2000, banyak pelajar dan mahasiswa dari NTT yang diantar dengan KM Ratu Rosari ke Pulau Jawa untuk menempuh pendidikan. Saat itu,  kapal ini menjadi satu-satunya sarana transportasi dari NTT ke Surabaya.

Perjalanan kisah KM Ratu Rosari tidak dapat diteruskan dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan tersaing kapal-kapal Pelni. Akhirnya, kapal ini kemudian dijual ke pengusaha Atambua bernama Fu On. Kapal ini sempat dipimpin seorang kapten non Katolik. Suatu ketika secara sengaja, sang kapten menurunkan semua gambar kudus termasuk foto-foto kenangan Br. Marianus, uskup, dan suster. Namun, keesokan harinya sang kapten memasang kembali semua gambar kudus dan foto-foto itu. Kabar burung yang terdengan karena malam itu sang kapten mendapat “teguran”.

Ada sebuah kisah lagi yang diceritakan oleh seorang kapten lainnya, bernama Kapten Buyung. Ia seorang Muslim asal Medan. Saat KM Ratu Rosari berada di dalam genggamannya, Kapten Buyung menyingkirkan semua atribut Kristiani di atas kapal, karena pikirnya bukan kapal ini bukan untuk misi Katolik lagi. Malamnya, ia bermimpi didatangi seseorang berjubah putih dan menyampaikan pesan. “Kapal ini tidak akan pernah tenggelam di laut lepas selama simbol-simbol Kristiani di kapal ini tetap dipertahankan.”

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Paginya, tanpa ragu, ia memerintahkan para ABK memasang kembali salib, simbol kepausan di ujung haluan kapal, dan gambar-gambar kudus lainnya. “Kapal ini tidak akan tenggelam, kecuali kalau salib yang terpahat di anjungan kapal ini sudah jatuh,” ujar Kapten Buyung kepada salah satu ABK. Sejak itu, hingga sekarang logo kepausan di ujung haluan kapal masih terpasang.

Seorang ABK juga mendapatkan pengalaman unik di kamar mesin, tempat yang selama bertahun-tahun menjadi kantor Br. Marianus. “Tengah malam kalau sedang tugas dan kami mengantuk atau tertidur, selalu saja ada seekor kupu-kupu putih yang menyambar-nyambar dekat telinga kami dan membuat kami terjaga. Aneh di tengah laut ada kupu-kupu. Kadang-kadang kami mendengar hunyi langkah kaki tetapi tidak melihat orang berjalan. Ketika sedang tugas jaga tetapi tertidur, seperti ada orang yang menepuk bahu atau menampar pelan seolah membangunkan,” tutur salah satu petugas di ruang mesin.

Kejadian lain, sekitar tahun 2013, KM Ratu Rosari hampir tenggelam saat berada 13 mil laut dari daratan. Air sudah masuk ke hampir seluruh badan kapal tetapi anehnya kapal berjalan dalam air. Akhirnya, KM Ratu Rosari dapat sampai ke darat dengan selamat.

KM Siti Nirmala dalam sebuah pelayaran di perairan Nusa Tenggara. (www.nttsatu.com)

Perlindungan Maria, Ratu Rosari

Bagi KM Ratu Rosari, laut yang bergelombang bukanlah sebuah hambatan. Kapal-kapal pada umumnya memilih menunda pelayaran. Tetapi, KM Ratu Rosari selalu berlayar menjalankan misinya sebagai kapal misi. Selain disiplin waktu sesuai jadwal pelayaran, keyakinan akan perlindungan Maria, Sang Ratu Rosari juga yang masih menjiwai para ABK yang masih bekerja di kapal itu.

Para ABK sudah terbiasa dengan nuansa kekatolikan kapal ini. Mayoritas berasal dari Flores dan Timor, ABK sangat taat untuk tidak bekerja pada hari Minggu. “Kalau kita nekat kerja pasti ada kecelakaan. Entah itu terluka di tangan atau kaki,” ungkap salah satu ABK.

Tiap kali sebelum kapal berangkat para ABK yang berada di ruang mesin selalu membuat tanda salib dan berdoa dulu sebelum menghidupkan mesin. ABK yang bertugas di anjungan juga selalu berdoa sebelum kapal meninggalkan pelabuhan. Pada saat-saat tertentu mereka berkumpul dan berdoa di kapel kapal. “Kami pakai buku Madah Bhakti dan Ibadat Lingkungan,” jelasnya lagi.

Sekarang, tidak ada yang tahu lokasi persis KM Ratu Rosari berada. Hanya dikhawatirkan, kapal yang sangat identik dengan Sang Bunda Tersuci ini hanya tinggal kenangan saja. Padahal sangat tinggi nilai sejarahnya. Umat setempat meyakini KM Ratu Rosari selalu dalam penyertaan dan perlindungan Bunda Maria.

Karina Chrisyantia

HIDUP NO.22, 31 Mei 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles