HIDUPKATOLIK.com – Kekuatan pendamping tuna rungu justru ditemukan pada mereka yang didampingi.
Frans Dwi Susetyo mengenang pengalamannya sepuluh tahun lalu di Katedral St Maria Diangkat ke Surga Jakarta. Hari itu, Dwi pertama kali bertugas melayani sebagai juru bahasa isyarat, bagi umat penyandang tuna rungu. Pengalaman itu begitu membekas, meski izin dari pastor paroki sudah ia kantongi, namun salah seorang petugas tata tertib memintanya keluar dari gereja secara halus.
Seketika ada sesak di dada Dwi. Bagaimana bisa, umat sama sekali tak memiliki kepekaan pada saudara mereka yang menyandang tuna rungu. Saat itu, sebenarnya ia tak memikirkan pengusiran dirinya itu. Ia sedih karena karena umat belum punya perhatian bagi penyandang tuna rungu. Baginya, umat penyandang tuna rungu pun butuh pendampingan.
Pengalaman pahit itu tidak sontak membuat Dwi mundur. Ia justru semakin terpacu memperjuangkan hak umat tuna rungu Katolik untuk mendapat kesempatan yang sama. Dari waktu ke waktu, ia menikmati pelayanan pastoral itu.
Kisah itu kini telah berbuah manis. Kerja keras Dwi bersama komunitas lain yang juga peduli dengan umat penyandang tuna rungu berbuah Misa rutin setiap Minggu pukul 11.00 di Katedral Jakarta. Pada kesempatan itu, umat penyandang tuna rungu dapat berkumpul dan berdoa bersama. “Puji Tuhan umat Katedral juga lebih paham akan kebutuhan teman-teman. Setiap kali Misa kami diberikan tempat khusus.”
Berilah Makan
“Berilah mereka makan,” ujar Yesus kepada para murid ketika 5000 orang datang mengikuti dia dan kelaparan. Secuil kalimat inilah yang menginspirasi Dwi untuk mengabdi di “dunia tuna rungu”. Ia belajar bahasa isyarat saat masih di seminari menjalani pendidikan sebagai imam. Namun, ia tidak melanjutkan pendidikan imamatnya.
Merasa gagal, Dwi pun meninggalkan pelayanan ini. Ia menggagap, bahasa isyarat hanya bagian dari mata pelajaran dan tidak ada hubungan dengan dunia baru yang akan ia geluti. Meski ia berusaha berlari dari urusan bahasa isyarat ini, namun sepertinya ia telah terjerat. Ia tak dapat lari jauh dari pelayanan itu. “Pelayanan yang saya hindari karena mengingatkan masa menjadi seorang frater, justru menyembuhkan dari rasa gagal itu.”
Dwi pun semakin dalam terjun. Ia kembali membantu para umat penyandang tuna rungu yang membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Semakin sering berinteraksi dengan mereka, semakin terlepaslah ia dari kukungan perasaan gagal.
Kini sudah hampir 18 tahun Dwi menggeluti dunia pelayanan bagi umat penyandang tuna rungu bersama Paguyuban Tuli Katolik (Patuka). Hingga kini, ia masih tekun dan aktif menambah kosa kata baru dalam bahasa isyarat. Ia menangkap setiap peluang untuk menyempurnakan karunia bahasa isyarat yang ia miliki.
Waktu yang semakin lama justru semakin menegaskan tantangannya sebagai juru bahasa isyarat ke depan. Dwi menyadari, bahwa kaderisasi juru bahasa isyarat masih sangat lemah. Untuk itu, ia berharap bisa tercipta sinergitas antara komunitas yang bergerak pada kepedulian yang sama agar kebutuhan juru bahasa isyarat dapat terpenuhi.
Sesuai Potensi
Pelayanan di bidang ekonomi bagi penyandang tuna rungu juga diberikan oleh Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta (LDD KAJ). Lembaga sosial ini menginisiasi pelatihan keterampilan tiap hari Selasa dan Kamis di gedung LDD. Dalam kegiatan ini, penyandang tuna rungu diajak untuk mengolah limbah kain menjadi barang tepat guna. Ketua Biro Penyandang Disabilitas LDD KAJ, Elisabeth Desy Kumalasari menjelaskan, bahwa aktivitas ini dipilih karena kemampuan motorik dan visual penyandang tuna rungu lebih mendominasi. “Keterampilan ini sangatpas untuk mereka melihat kebutuhan mereka untuk meningkatkan pendapatan,” ujarnya.
Sebagai pendamping tuna rungu, Desy mau tidak mau harus belajar mengenal bahasa isyarat. Ia memang tidak semahir rekan-rekannya yang lain. Tetapi, ia yakin selalu ada cara untuk berkomunikasi dengan mereka. Ia kadang meminta bantuan relawan lain untuk dapat berkomunikasi dengan para penyandang tuna rungu.
Tak terasa, sudah 23 tahun, Desy mengabdi di LDD. Banyak kisah suka duka menghampiri kehidupannya. Mendampingi penyandang tuna rungu untuk membuat keterampilan kain perca bukan pekerjaan yang mudah. Ia harus pandai melihat potensi tiap pribadi, sehingga bisa menugaskan mereka di pos yang sesuai dengan kemampuan.
Pernah di satu masa, Desy harus menghadapi kecenderungan tinggi iri hati dari para penyandang tunarungu. Saat itu, ia memberikan jumlah tugas yang berbeda kepada tiap orang. Hal itu dilakukan mengingat perbedaan kemampuan mereka.
Tetapi, yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, mereka memaksa untuk memiliki porsi yang sama. Hal ini karena bergantung dengan pendapatan. Desy pun mengalah. Namun saat mereka tidak mampu menyelasaikan tugas dengan porsi yang diminta, mereka pun mengerti dan mau bekerja sesuai dengan kemampuan diri mereka.
Sempat terlintas dalam benak Desy untuk menyerah pada pendampingan ini. Ia merasa tidak sanggup. Namun, niat itu hancur kala melihat ekspresi kebahagiaan teman-teman penyandang tuna rungu di unit produksi saat menerima insentif atas hasil kerjanya. Gambaran kegembiraan yang polos dan tulus itu menguatkan hatinya untuk terus berjuang agar unit produksi terus berjalan.
“Saya tidak mengira, bahwa uang yang nominalnya tidak begitu besar, paling hanya berkisar Rp 300-400 ribu ternyata sangat berharga banget. Itu mereka mendapat dari upah apa yang mereka kerjakan,” ungkapnya.
Inspirasi Tuhan
Anastasia Sri Priharyanti juga kisahnya sendiri sebagai pelayan bagi umat penyandang tuna rungu. Suatu hari, akibat peradangan pada sendinya, Yanti sapaannya, mengalami kelumpuhan sementara. Bersamaan dengan itu, ia juga terkena flu yang membuatnya kehilangan kemampuan mendengar dan berbicara.
Dunia serasa runtuh bagi Yanti. Rasa sunyi mencekam dirinya. Hanya tinggal rasa sunyi yang merayap. Beruntung, Yanti telah terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat sehingga ia bisa sedikit mengkomunikasikan keadaannya.
Dalam kesunyian itu, Yanti melihat kehendak Tuhan. Baginya, kebahagian pun dapat direngkuh dalam keterbatasan. Ia sadar teman-temannya penyandang tuna rungu yang dilayaninya bisa selalu berbahagia walaupun sunyi mendera. “Oh ternyata Tuhan memberikan kesempatan ini untuk memaknai bahwa apapun adanya harus bersyukur. Ternyata mereka yang kekurangan itu lebih sempurna untuk menerima karunia Tuhan,” ucap pendamping tuna rungu di LDD KAJ ini.
Beranjak dari pengalaman ini, Yanti semakin mantap mendedikasikan dirinya bagi penyandang tuna rungu dan disabilitas lainnya. Namun, kemelut hati selalu hinggap mengusik batinnya dengan pertanyaan bisakah ia bertahan dengan kemampuan seadanya yang ia punya. Semangat bertahan itu pun, ia tuai dari dukungan teman-teman yang didampingnya.
Juru bahasa isyarat dari Kumpulan Orang Mau Pelajari Ajaran Kristus (KOMPAK), Daniel Doa juga punya cerita. Ia mendapat kekuatan untuk melayani penyandang tuna rungu dari umat yang ia dampingi. Ia mengakui bahwa ia justru banyak menuai ilmu kehidupan melalui mereka.
Daniel terkesan, meskipun mereka punya keterbatasan tetapi memiliki hati untuk belajar tentang Tuhan. Ia juga kagum akan semangat pantang menyerah yang dimiliki penyandang tuna rungu. “Baik orang normal maupun difabel punya permasalahan hanya bedanya kita terlalu terfokus dengan masalah, sedangkan mereka fokus menemukan jalan keluar dari masalah itu,” tuturnya.
Pertama kali memberikan pengajaran tentang Rosario kepada umat penyandang tuna rungu, ia pernah ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Namun, dengan sigap, ia bisa melihat bahwa perlakuan ini ia terima sebagai akibat dari kurangnya interaksi yang ia bangun.
Putus cinta karena pilihannya untuk tetap melayani umat penyandang tuna rungu pun pernah dialami Daniel. Sang kekasih kerap protes karena ia tak punya waktu di akhir pekan. Setiap Sabtu dan Minggu, ia habiskan bersama dalam pelayanan kepada penyandang tuna rungu. Alhasil, ia pun harus merelakan kekasihnya. Cinta mereka pun putus.
Daniel memang terpukul dengan keadaan itu. Akan tetapi, dengan cepat ia mampu bangkit. Ia selalu berkaca pada keadaan umat yang didampinginya. “Saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik,” ucapnya.
Integrasi dalam Gereja
Setiap penyandang tuna rungu harus terintegrasi ke dalam komunitas Gereja. Dengan begitu, akan tumbuh rasa saling memiliki dalam diri mereka kepada Gereja. Paus Fransiskus dalam suratnya yang ditujukkan untuk memperingati Hari Tuna Rungu Internasional ke-60 menuliskan, agar setiap keuskupan bersama dengan pelayan pastoral mempersiapkan juru bahasa isyarat, juru baca bibir, dan juru ketik.
Namun, harapan ini terkendala dengan fakta terjadi kekurangan juru bahasa isyarat di lingkup pastoral. Jumlah penerjemah bahasa isyarat berada pada posisi stagnan dan cenderung menurun. Sementara itu, permintaan untuk melayani meningkat. Keterbatasan juru bahasa isyarat ini diakibatkan minimnya minat untuk belajar bahasa isyarat.
Kondisi kurangnya penerjemah ini pun berdampak serius pada penyandang tuna rungu mereka tidak mendapatkan asupan rohani yang cukup. Di kalangan umat Katolik tidak ditemukannya semangat yang konsisten untuk terjun langsung melayani umat tuna rungu.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.05 2019, 10 Februari 2019