HIDUPKATOLIK.com – “Saya tertantang untuk meluruskan konsep hidup kaum beriman di KAM yang melihat Gereja bukan sebagai ladang pelayanan tetapi tempat berkarier”.
Rasul Paulus pernah mengatakan, “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom. 1:17). Barangkali pernyataan sederhana ini mengantar kita memahami perbedaan orang beriman dan tidak beriman.
Di Keuskupan Agung Medan (KAM), ada harapan agar Gereja harus dihidupi oleh orang-orang beriman yang saling melayani dan merangkul. Terkait semangat ini, HIDUP mewawancarai Uskup Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung OFM Cap. Berikut petikannya:
Moto Bapak Uskup, Deus Meus et Omnia. Apa artinya bagi umat KAM?
Hal ini adalah doa dari Santo Fransiskus Asisi yang artinya, “Tuhanku-lah Segalanya dan Mengatur Segalanya”. Moto ini tak lain adalah ungkapan akan kebesaran Allah dan keagungan Allah.
Sebuah ungkapan syukur atas kemuliaan Allah sekaligus refleksi atas ketakberdayaan manusia sebagaimana terumuskan dalam Mazmur 8:5, “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Siapakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya?”
Di hadapan misteri ini, saya ingin mengagumkan nama Tuhan sampai di seluruh dunia.
Setidaknya, dengan karya dan tugas yang diemban ini, saya ingin mengantar orang terpana dan merasakan kekaguman akan kemuliaan Allah yang besar, sekaligus menyadari bahwa kita butuh Tuhan.
Soal ketakberdayaan, tantangan utama yang sedang dihadapi umat KAM?
Di KAM tantangan utama bukan soal medan pastoral, budaya, dan sebagainya. Tantangan paling utama adalah paham soal hidup menggereja yang benar atau paham kita sebagai orang beriman yang percaya pada Kristus. Misal, baru saja saya diangkat jadi uskup, orang mulai berpikir siapa Vikjen, siapa di komisi apa, dan sebagainya.
Jadi konsep beriman yang benar itu sudah mengalami pergeseran. Orang berpikir menjadi pemimpin dalam Gereja itu seperti jenjang karier padahal pemimpin adalah pelayan. Artinya, siap membawa Gereja ke arah yang lebih baik.
Maka sebenarnya, saya dipilih menjadi uskup bukan kebanggaan atau prestasi yang luar biasa, tetapi sebuah beban bahwa saya mendapat tanggung jawab yang besar. Saya harus mampu mengantar mereka menjadi umat yang benar-benar beriman.
Terkait pengorbanan dalam pelayan, bagaimana Uskup melihat pelayan pastoral di KAM?
Persoalan yang menyita energi besar adalah bukan menjalankan program keuskupan tetapi menghadapi saudara-saudara yang bermasalah. Soal ketaatan misal, sesama imam yang bertengkar. Ada saudara yang tidak jujur soal keuangan, bahkan ada yang memiliki kasus dengan lawan jenis. Hal ini menyita banyak energi saya.
Tetapi seorang pelayan harus berlapang dada menganimasi dan membantu mereka yang terpuruk panggilannya. Kalau orang memiliki konsep iman yang benar, maka kehidupan panggilannya dirawat dengan baik.
Para imam jangan melihat Gereja sebagai tempat memperkaya diri atau karier rohani. Ini salah dan akan berakibat pada banyak hal seperti fanatisme budaya, nepotisme, dan sebagainya.
Kalau begitu semangat seperti apa yang harus dibangun di KAM?
Saya seorang Fransiskan. Kharisma yang harus dibangun adalah persaudaraan. Saya pikir kita perlu menentukan arah keuskupan ini. Saya ingin semua umat Allah termasuk klerus dengan berbagai tarekat di KAM memperkenalkan kharisma masing-masing.
Hal ini mungkin menjadi pintu komunikasi positif bagi gerak pastoral Gereja. Di setiap paroki yang dilayani masing-masing tarekat perlu menampilkan kharisma tarekat tersebut.
Spirit persaudaraan berkembang karena pemimpinnya. Bagaimana tanggapan Uskup?
Saya hanya mendapat gelar Lisensiat dan setelah kembali dari Roma menjadi formator. Tetapi tanggungjawab yang kecil saya kerjakan dengan semangat yang besar. Saya bisa bekerja di kebun dan kolam ikan.
Malam-malam saya rajin membersihkan selokan dan melihat ikan-ikan. Kuncinya adalah bekerja dengan hati. Setelah menjadi Guardian, saya ingin para frater menjadi disiplin. Maka sebelum saya berbicara soal disiplin, saya sendiri menjalankan itu. Intinya saya ingin para frater kreatif dan inovatif, dan tidak menjadi parasit.