HIDUPKATOLIK.COM – Panggilan hidup sebagai biarawan (pastor), yang bisa dikatakan sudah menikah secara jasmani dan rohani dengan Gereja (selibat), tentunya bukanlah suatu perkara yang mudah dijalani, sama halnya dengan panggilan berkeluarga (orang yang beristeri/ bersuami).
Terinspirasi dari 1 Korintus 7:32, “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya”.
Bagaimana sulitnya untuk tidak menikah, meninggalkan keluarga, harta benda, dan lain-lainnya sebagai seorang pastor? Simak tulisan yang dibuat oleh RP. Joseph Pati Mudaj, MSF (ralat dari tulisan sebelumnya oleh RD. Robby Seran) berikut dalam bagian I:
“Hidup Pastor itu enak ya? ” Kerap kali saya mendapat pertanyaan demikian. Bagi sebagian orang, hidup pastor terlihat ‘enak’; tidak perlu mikir makan-minum, pakaian, rumah, biaya ini-itu, bahkan masa depan. Mau perlu apapun bisa dipenuhi. Mau ke manapun ada sarana dan cara. Lagi pula banyak umat yang berbaik hati dan sedia membantu. Pastor sepertinya tak punya beban hidup. Dan masih banyak hal ‘enak’ lainnya yang dipikirkan orang.
Tetapi, bukankah pastor juga mengalami hal-hal yang ‘tidak enak’ ? Waktu pastor bukanlah miliknya sendiri. Sebagian besar waktunya didedikasikan untuk banyak orang. Ia harus siap dipanggil siang atau malam. Kadang kesendirian dan kesepian sebagai manusia menderanya. Belum lagi ikatan emosional dengan keluarga dan teman-teman yang kadang melintas dan tak terbendung.
Dalam karya pelayanan, pastor tidak bisa memilih tempat yang disukai. Ia taat diutus ke manapun oleh pimpinan. Kalau sudah nyaman di suatu tempat, ia bisa saja dipindahkan ke tempat lain. Kadang ia ditempatkan di daerah terpencil dengan medan pelayanan yang berat atau kehidupan yang keras dan sulit.
Dalam hidup komunitas, seorang pastor tidak memilih siapa rekannya (beda dengan suami-istri yang bebas memilih). Ia harus menerima siapapun. Kadang ia berhadapan dengan rekan yang karakter, hobi atau minatnya bertolak belakang yang bisa memincu adanya konflik. Tidak ada milik pribadi.
Semua adalah milik bersama dengan uang saku yang sama. Dalam pergaulan, jika pastor jarang ngobrol dengan umat dibilang jaim, angkuh atau apalah. Tapi kalau akrab dengan umat, dibilang cari perhatian atau malah jadi bahan gosip.
Baca juga bagian kedua: https://www.hidupkatolik.com/2017/11/27/15197/suka-duka-seorang-pastor-bagian-ii-akhir/.
(A.Bilandoro)
Tulisan “Suka Duka Seorang Pastor” adalah hasil permenungan saya yang sy post di wall facebook saya. Kok media ini seenaknya menyadur dan mengganti nama penulis?
Mari kita berpijak pd etika jurnalistik dan mewartakan kejujuran…
Redaksi, mohon dicek lagi keaslian tulisan ini, karena tampaknya ini adalah jiplakan tanpa ijin dari status Facebook seorang pastor (P. Yoseph Mudaj, MSF, tanggal 6 November yang lalu). Tetaplah jaga etika penulisan, etika jurnalisme.
Halo Pater Yoseph / Bapak Aurelius, terimakasih untuk tanggapan yang diberikan, tulisan telah dikoreksi sesuai penulis asli (RP. Joseph Pati Mudaj, MSF) sebagai ralat dari tulisan sebelumnya (oleh RD. Robby Seran) dalam bagian I dan II dan dikomunikasikan via email kepada Pater Yoseph untuk penjelasan lebih lanjut, Salam HIDUP