web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Et Incarnatus Est

3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Setiap perayaan Misa hari Minggu dan Hari Raya, imam bersama umat melagukan atau mendaraskan Syahadat (Credo). Terlebih dulu imam membuka Credo, dan selanjutnya dilagukan oleh umat dan kor secara bergantian. Credo mengingatkan umat akan pengakuan pokok-pokok misteri iman sebelum merayakan Liturgi Ekaristi. Rumusan Credo singkat, tepat, dan tidak mendua arti. Walaupun kedudukan Credo tidak lebih tinggi dari Kitab Suci, namun isinya yang padat meneguhkan iman umat, khususnya mampu melawan ajaran-ajaran sesat.

Bagi umat sederhana, Credo berfungsi sebagai patokan atau kriteria iman Gereja. Pada zaman dulu, Credo diajarkan kepada katekumen dan calon baptis serta diucapkan ketika pembaptisan. Sebelum Konsili Vatikan II, guru-guru agama di desa-desa terpencil justru melaksanakan katekese berdasarkan Credo. Kalau umat sudah hafal, cukuplah!

Dewasa ini, terkesan Credo dilagukan atau terlebih didaraskan cepat-cepat, tergesa-gesa; begitu saja tanpa makna. Padahal sebelum Konsili Vatikan II, banyak umat merasa terkesan dan tersentuh ketika Credo dinyanyikan dalam bahasa Latin. Walaupun tidak memahaminya, namun umat sungguh menghayati dan dinyanyikan dengan hati. Mengapa demikian?

Hari ini kita terbius dengan hanya bahasa kata yang tertera pada teks. Padahal makna bahasa melampaui teks tertulis. Khususnya bahasa religius justru menunjukkan, menyingkapkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan. Bahasa religius memunculkan, memperlihatkan, dan memperdengarkan Allah yang tidak kelihatan. “Bahasa religius mempunyai akar-akarnya dalam situasi-situasi ajaib itu di mana kelihatan lebih daripada yang terlihat saja” (Harry Hamersma, 2014. Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat. Yogyakarta: Kanisius).

Ketika Credo dilagukan, misteri iman sungguh dihayati, yang maknanya melampaui kata-kata tekstual. Orang Romawi mengatakan, musik atau nyanyian adalah semacam ucapan Tuhan atau gambaran suara Tuhan. Nyanyian yang baik merupakan cara pemurnian rasa, jiwa, dan rohani manusia. Musik dan nyanyian tidak memberi penjelasan tetapi menampilkan gambaran kehidupan iman. “Musik dari suatu bangsa mencerminkan jiwa dan pribadinya bangsa tersebut,” (Bernhard Baumgartner). Demikian juga Credo yang dilagukan dengan baik, benar dan indah, mencerminkan penghayatan iman umat. Terlebih ketika solis melagukan “Et incarnatus est Spiritu Sancto ex Maria virgine, et homo factus est”, ‘Dan menjadi daging oleh Roh Kudus dari Perawan Maria, menjadi manusia’.

Sebelum Konsili Vatikan II, ketika solis melagukan, “Et Incarnatus est…”, semua umat berlutut, menundukkan kepala, terasa hening yang menggetarkan, sambil mendengarkan solis melagukan bagian ini dengan gaya Gregorian silabis dan ritartando (perlahan-lahan). Organis mengiringinya dengan melodi saja dan pianissimo, bahkan tanpa iringan. Pada saat ini jiwa kita penuh getaran, hati terharu, mesra, dan luluh dalam keindahan, bahkan dalam Yang Mahaindah. Memang keindahan lagu Gregorian dialami dengan perasaan iman. Sifat lagu Gregorian adalah menuju Tuhan (Theocentris). Lagu Gregorian muncul dari praktik ibadah dan dapat dinikmati bila kita sungguh- sungguh mengalami, meresapi, dan menghayati liturgi. “Justru keindahan itu sendirilah yang menyadarkan kita akan Keindahan Yang Tak Terhingga, meskipun Keindahan itu tidak dimengerti betul-betul dan hanya dibayangkan dengan samar-samar. Keindahan sebagai keindahan membawa manusia kealam religi atau hubungan dengan Tuhan”(Driyarkara: Kumpulan Karangan).

Nah, itulah warisan berharga Gereja sebelum Konsili Vatikan II, yang cenderung dilupakan generasi hari ini. Credo Gregorian harus dihidupkan kembali agar orang muda menemukan akar-akar iman yang berkembang dalam sejarah. Credo Gregorian mengungkapkan iman melampaui bahasa kata. Nyanyikanlah Credo III, abad ketujuh belas, Puji Syukur No. 374. Liturgi, seperti juga Gereja, harus terus-menerus diperbarui (Liturgia semper reformanda est) dari waktu ke waktu dengan tetap setia pada akar tradisi yang dihidupi Gereja Perdana.

RD Jacobus Tarigan

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles