web page hit counter
Senin, 25 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ketoprak Unika Soegijapranata: Mencari Pemimpin yang Jujur, “Setya ing Ubaya”

1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – UNIVERSITAS Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah (Jateng) berupaya merawat Seni Kethoprak dengan mementaskannya dalam acara Pentas Seni Ketoprak Pranata Raras mengangkat judul “Setya ing Ubaya” yang dipentaskan di Selasar Thomas Aquinas, Unika Soegijapranata, Senin, 28/8. Para pemain yang ikut dalam pementasan tersebut adalah warga komunitas Unika Soegojapranata, baik para karyawan, dosen dan staf tenaga kependidikan. Bahkan Rektor Unika Soegiojapranata Prof Dr Ir Y Budi Widianarko MSc pun turut bermain berperan sebagai Adipati Tirtamardawa.

Yang luar biasa, sebelum ketoprak dimulai, Rektor terpilih Unika Soegijapranata, Prof Frederik Ridwan Sanjaya memberikan sambutan pembukaan dalam bahasa Jawa. Dengan lancar, ia menyambut para tamu dan penonton untuk menikmati sajian nguri-nguri kabudayan Jawi Kethoprak.

Ketoprak dengan lakon “Setya ing Ubhaya” ini juga melibatkan Romo R. Sugihartanto yang berperan sebagai Patih Daruwati. Tak ketinggalan, Romo Aloys Budi Purnomo yang adalah Pastor Kepala Campus Ministry turut pula bermain berperan sebagai Tumenggung Adyaksa.

Naskah pementasan Seni Ketoprak Pranata Raras Unika Soegijapranata dikerjakan oleh Val Suroto – The Java Institute Unika Soegijapranata. Pentas ini dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis XXXV Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang. Bertindak sebagai sutradara adalah Kristanto dari Dinas Pariwisata Semarang. Ketoprak diiringi pengrawit Seni Ketoprak Pranata Raras Unika Soegijapranata dan juga menghadirkan bintang tamu pelawak Teguh Hoki.

Baca Juga:  Telentang di Atas Gunung Sampah, Pastor Mutiara Andalas: Kita Tidak Menyalibkan Tuhan di Tempat Sampah

Sinopsis Cerita
Jalan cerita dari pentas ketoprak ini mengangkat tentang jabatan Adipato di Kadipaten Argabendha yang diemban oleh Adipati Tirta dengan waktu yang cukup lama. Dahulu, jabatan tersebut menjadi hak adik Adipati Tirtamardawa, yang mangkat pada usia muda meninggalkan dua anak yang masih kecil. Sebagai wakil dari kedua anak tersebut, Adipati Tirtamardawa menjalankan tampuk pemerintahan. Kini kedua anak tersebut, Bramantya dan Prabantala, telah cukup umur. Adipati Tirtamardawa berniat menyerahkan tampuk pemerintahan kepada salah satu dari mereka, walau beberapa nayaka praja menunjukkan keberatan. Alasannya, Bramantya dan Prabantala dianggap belum cukup matang dan toh, Kadipaten Argabendha tata titi tentrem karta raharja di bawah pemerintahan Adipati Tirtamardawa.

Bagaimanapun, niat Adipati Tirtamardawa tetap teguh. Melalui caranya sendiri, Adipati Tirtamardawa memilih Prabantala sebagai Adipati yang baru. Bramantya yang sulung tetapi tidak terpilih, merasa kalah dan dipermalukan sehingga ia bertekad untuk merebut kekuasaan. Untuk itu, ia berusaha membuat aliansi dengan Kadipaten Malaya yang dulu pernah berselisih dengan Kadipaten Argabendha. Niat itu tidak berjalan dengan baik. Merasa ditolak, Bramantya justru meluapkan kemarahannya dengan membuat kekacauan dimana-mana. Syukurlah Adipati Prabantala bersikap bijaksana dan tetap merangkul bahkan mengampuni kakaknya, Bramantya, sebagai keluarga.

Setia pada Janji
Pentas Ketoprak Unika Soegijapranata menjadi refleksi kepemimpinan yang melayani dan setia pada janji. Kanjeng Adipati Tirtamardawa yang hendak lengser mendapat tugas memilih penggantinya. Ada dua calon pengganti yang siap dipilih dari kedua keponakannya, yakni Raden Prabantala dan Raden Bramantya.

Baca Juga:  Uskup Agung Palembang: Banyak Intelektual Katolik, Hanya Sedikit yang Mau Berproses

Kedua adik dan kakak itu memiliki sifat berbeda laksana bumi dan langit. Prabantala lemah lembut dan rendah hati. Sementara kakaknya, Bramantya, seorang yang arogan sombong dan pemarah, kecuali itu juga ambisius ingin menjadi Adipati.

Adipati Tirtamardawa memenuhi janji setia untuk lengser bila saatnya tiba. Dia tidak haus kekuasaan. Sanga Adipati menyadari bahwa sudah berjanji, bila saatnya tiba, kekuasaan dan wibawa kepemimpinan sebagai Adipati akan dan harus diserahkan.

Dicari Pemimpin Jujur
Sayangnya, Bramantya yang berwatak seperti itu juga terjebak dalam lingkaran lingkungan korup dan tidak jujur. Ia terjebak dalam strategi fit and proper test yang dilakukan Adipati Tirtamardawa.

Kepada kedua kemenakannya itu, Adipati Tirtamardawa memberikan biji asam yang sudah digoreng untuk ditanam di sebuah pot. Aneh bin ajaib, bahwa biji asam yang diberikan kepada Bramantya ternyata bisa tumbuh. Suatu hal yang mustahil. Maka, dari situ – sesudah Tumenggung memeriksa kedua pot tersebut dan menyerahkan keputusan kepada Sang Adipati – Raden Prabantala-lah yang kemudian ditetapkan menjadi Adipati.

Usut punya usut, ternyata, Bramantya yang memang ambisius jadi Adipati itu terjebak oleh permainan bawahannya yang juga haus kuasa yang mengganti biji asam yang sudah digoreng itu dengan biji asam lain yang bisa tumbuh. Bramantya pun kian marah dan merasa dipermalukan, namun bukannya sadar dan bertobat, justru berniat melakukan pemberontakan melawan adiknya, Adipati Prabantala.

Baca Juga:  Keuskupan Tanjungkarang Memperoleh Tiga Imam Baru: Imam Tanda Kehadiran Allah

Namun kejujuran Prabantala sangat luar biasa istimewa. Bahkan disertai belas kasih dan pengampunan. Saat pemberontakan Bramantya bisa dipatahkan, Prabantala tetap dengan penuh kasih menerima dan memaafkan kakaknya.

Kepemimpinan yang jujur dan murah hati itu mendatangkan damai sejahtera dan kerukunan. Bukan sebaliknya benci atau pun balas dendam. Kiranya pemimpin yang seperti itulah yang juga dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa kita saat. Pemimpin yang jujur, rendah hati, murah hati dan pembawa damai sejahtera.

Romo Budi dan Prof Budi sebelum pentas. (Dok. Unika Soegijpranata)

Tata Rias Lebih Serius 
Menurut Prof Budi, tata rias kali lebih serius. “Delapan tahun lalu warna hitam cuma pake arang…” katanya di sela-sela menjalani rias oleh petugas. Saking seriusnya hingga kumis asli Prof Budi yang selama ini acak-acakan langsung dirapikan oleh perias.

Kumisnya yang asli yang tipis dipertebal. Bahkan saat sedang dirias, tiba-tiba sang perias pergi entah ke mana, sementara kumisnya baru separo yang dipertebal. Kesempatan bagi yang lain untuk menggoda. “Kumisnya seperti reting. Ke kiri jalan terus….” gara-gara yang kiri lebih tebal ibarat lampu petting yang menyala dengan warna hitam.

(ANS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles